jatiluwih

jatiluwih

This is default featured post 1 title

Belajar untuk memahami budaya dari sudut pandang yang berbeda aku dia kita dan mereka adalah sama sama sama mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

This is default featured post 2 title

Belajar untuk memahami budaya dari sudut pandang yang berbeda aku dia kita dan mereka adalah sama sama sama mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

This is default featured post 3 title

Belajar untuk memahami budaya dari sudut pandang yang berbeda aku dia kita dan mereka adalah sama sama sama mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

This is default featured post 4 title

Belajar untuk memahami budaya dari sudut pandang yang berbeda aku dia kita dan mereka adalah sama sama sama mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

This is default featured post 5 title

GBelajar untuk memahami budaya dari sudut pandang yang berbeda aku dia kita dan mereka adalah sama sama sama mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Kamis, 24 Februari 2011

Teori Kritis dan Teori Tradisional

Teori-teori Kritis pada awalnya merujuk pada serangkaian pemikiran mereka yang tergabung dalam sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920an, yang kemudian dikenal sebagai Die Frankfurter Schule atau Frankfurt School. Pemikiran mereka banyak memperoleh inspirasi dari, atau didasarkan atas, pemikiran tokoh-tokoh seperti Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud, dan terutama sekali – serta tidak bisa dilepaskan dari – konsepsi pemikirab Karl Marx. Namun mazhab Frankfurt telah berkembang dinamis melalui beberapa generasi pemikiran, dan memproduksi sejumlah varian pemikiran, sehingga secara keseluruhan memperlihatkan bahwa mazhab ini bukan merupakan suatu kesatuan pemikiran yang monolitik. Hingga kini sekurangnya, Frankfurt School telah mencakup 3 (tiga) generasi pemikiran.
Pertama, yang seringkali disimpulkan dalam label “school of Western Marxism” dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse. Tokoh psikoanalis, Erich Fromm dan Sigmund Freud juga dinilai sebagai bagian dari generasi pertama Teori-teori Kritis. Kematian Adorno dan Horkheimer dinilai banyak kalangan ilmuwan sebagai salah satu faktor yang telah mengakhiri era Frankfurt School, sekaligus merupakan akhir dari pemikiran teori-teori kritis sebagai suatu bentuk pemikiran Marxisme. Sebab, sdetelah itu perkembangan pemikiran tokohtokoh mazhab kian menjadi sedemikian “kabur” — dan semakin terpisah dari, atau tidak terkait dengan, gerakan-gerakan politik Marxist
Generasi kedua, antara lain telah mencuatkan nama-nama seperti Jurgen Habermas. Karya-karya pemikiran Habermas dengan jelas menunjukkan adanya perbedaan epistemologis yang cukup mendasar dibanding konsepsi yang dimiliki para pendahulunya, meskipun tetap mempertahankan tradisi serta cirinya sebagai bagian dari teori kritis. Konsepsi Habermas tentang communicative rationality contohnya, dapat dinilai sebagai perpecahan epistemologi dengan philosophy of consciousness yang digunakan generasi pertama Frankfurt School, seperti Horkheimer, Adorno, atau Marcuse.
Sementara itu, generasi ketiga, merujuk pada tokoh-tokoh seperti Axel Honeth. Namun kini lingkup teori-teori kritis telah makin meluas, mencakup – ataupun menjadi dasar rujukan – analisis kritis dari pakar seperti Jacques Lacan (psikoanalisis), Roland Barthes (semiotik and linguistik), Peter Golding, Janet Wasko, Noam Chomsky, Douglas Kellner (ekonomi-politik media), hingga berbagai tokoh dalam topik masalah gender, etnisitas dan ras, postkolonialisme, dan hubungan internasional.
Teori dalam pengertian tradisional bertujuan untuk melakukan eksplanasi tentang, dan prediksi terhadap, suatu fenomena sosial. Dalam pengertian tersebut teori bisa didefinisikan seperti yang dikemukakan Kerlinger: “. . . a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomenon by specifying relations among variables,with the purpose of explaining and predicting phenomena” Atau seperti yang dirumuskan oleh Wallace: “Theories . . . explain empirical generalizations that are already known, and they predict empirical generalizations that are still unknown”. Eksplanasi dalam teori-teori tradisional hampir secara spesifik mengambil bentuk sebagai suatu causal explanation dimana sejumlah fenomena saling dihubungkan dalam rantai kausalitas (sebab – akibat). Berdasarkan definisi itu, suatu teori yang memiliki kemampuan melakukan eksplanasi dan prediksi terhadap suatu fenomena sosial, dinilai memiliki kegunaan instrumental, antara lain untuk mengelola atau mengontrol suatu fenomena sosial sebagaimana dikehendaki.“Kekuatan” atau kegunaan sebuah teori ilmiah dengan demikian ditentukan oleh predictive power dan explanative power teori tersebut.
Perbedaan teori kritis dengan teori tradisional:
a. Pembuktian Empirik
“Teori tradisional” dalam konsepsi positivisme, menuntut konfirmasi empirik, melalui observasi dan eksperimen, dengan menerapkan seperangkat metode-metode tertentu mulai dari metode pengumpulan data, hingga metode analisis; kesemuanya tak jarang disertai pengukuran atau kuantifikasi realitas social yang diteliti. Itu semua terkait dengan kriteria falsifiability dan testability, yakni apakah suatu teori bisa diturunkan menjadi konsep-konsep atau variabel-variabel yang memungkinkan untuk diuji secara empirik Karenanya, dalam sistimatika penelitian positivistik, khususnya yang menerapkan hypothetico-deductive method, suatu kerangka teori sebenarnya merupakan theoretic hypothesis (jawaban teoretis sementara terhadap masalah penelitiani).Hipotesis teoretik itulah yang kemudian.harus diturunkan menjadi research hypothesis (dan statistical hypothesis, dalam kasus penelitian kuantitatif). Tujuannya agar memungkinkan teori tersebut diuji dengan data empiris yang ada. Di lain pihak, kerangka teori dalam paradigma Teori-teori Kritis tidak diturunkan sebagai hipotesis untuk diuji dihadapan data empirik yang ada. Sebab, Teori-teori Kritis memiliki konsepsi tersendiri tentang kaitan antara teori dengan dunia empirik, Karena itu, suatu teori kritis, lebih mengutamakan practical explanation, menyangkut persoalan action and structure dalam melakukan suatu transformasi sosial. Karenanya pula, suatu teori kritis dinilai cognitively acceptable (dan valid) hanya bila (1) teori tersebut membongkar “kesadaran palsu” dan bisa diterima dan bertahan sebagai refleksi diri para pelaku sosial yang dirujuk teori, dan (2) teori tersebut bisa digunakan sebagai dasar melakukan transformasi. Pembuktian empiris dalam teori-teori kritis, dengan demikian juga terkait dengan keharusan agar pertama-tama para agen-agen pelaku sosial yang dirujuk teori, mengadopsi teori itu sendiri: Kondisi empirik tertentu (yang menurut teori kritis dinilai sebagai kondisi yang “seharusnya” ada) akan tercipta bila para agen sosial mengadopsi teori itu sendiri, dan kemudian bertindak atas dasar teori yang mereka adopsi tersebut. Suatu hegemoni akan roboh bila masyarakat pertama-tama menyadari adanya hegemoni, dan bertindak terhadapnya, atau menjadikan teori kontra-hegemoni sebagai rujukan ideologis bagi aksi-aksi sosial mereka (akibatnya,teori-teori kritis seringkali dinilai sebagai teori yang memuat elemen self-fulfillingprophecy). Kedudukan pembuktian empiris tersebut terkait dengan masalah predictive power suatu teori kritis yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu.
b. Struktur Kognitif dan Objektivitas
Dimensi tujuan dari teori-teori kritis membantu kita untuk memahami penyimpulan bahwa karakteristik teori-teori sekurangnya mencakup dua hal, Pertama, berbeda dengan teori-teori “ilmiah” dalam pengertian tradisional yang cenderung value free, maka teori-teori kritis menonjolkan posisi sebagai “panduan bertindak bagi manusia” dalam arti teori-teori itu (a) bertujuan untuk memproduksi pencerahan dalam diri pelaku sosial, yang lebih lanjut mampu memberdayakan mereka untuk menentukan “kepentingan sejati” mereka, dan (b) secara inherent bersifat emansipatoris, dengan menempatkan diri sebagai pelaku pembebasan dari berbagai bentuk dominasi dan hegemoni. Kedua dari segi epistemologi, menampilkan perbedaan yang amat mendasar dengan teori-teori “ilmiah tradisional”. Sebab, teori-teori kritis bersifat reflective, sementara teori-teori ilmiah tradisional lebih bersifat objectifying.

teori kritis sebagai basis teori kajian budaya

Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx. Tujuan dari teori kritis adalah untuk mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik suatu “realitas semu” atau “kesadaran palsu” yang teramati secara empirik. Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha melakukan eksplanasi, namun eksplanasi dalam pengertian lain, yakni ekplanasi tentang adanya kondisi-kondisi yang dinilai palsu, semu, atau tidak benar (seperti “false class consciousness”). Tujuannya tak lain untuk pencerahan, emansipasi manusia, agar para pelaku sosial menyadari adanya pemaksaan tersembunyi, atau hegemoni.
Kajian budaya terlahir dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis. Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin “kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Mazhab Frankfurt. Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian.
Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa. Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi. Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality. Senada dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko, hal yang paling fundamental dalam “kajian budaya”, pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan.
Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality. Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue.
Paradigma yang digunakan mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan atau metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain. Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa. Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang menuju ‘kebenaran’ (truth) maka yang dipakai adalah triangulation.
Cultural studies tidak memberikan strategi bagaimana menyelesaikan masalah, tetapi lebih memberi perhatian kepada munculnya suatu masalah karena tidak disadarinya berbagai kepentingan yang dikonstruksikan dalam kebudayaan. Karena itu tugas cultural studies adalah mengungkapkan berbagai kepentingan tersebut dengan memberi fokus kepada beberapa masalah seperti peranan kekuasaan dalam kebudayaan, persoalan kebudayaan tinggi dan rendah dalam kebudayaan, depolitisasi atau politisasi pengertian keudayaan, serta kedudukan gender dan seksualitas dalam kebudayaan. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini berjalan parallel dengan perkembangan yang terjadi dalam post-modernisme, yang ingin memeriksa kembali ideologisasi kepentingan tertentu melalui ilmu pengetahuan dan paham-paham kebudayaan dalam modernisme.
Dalam mencapai tujuannya, kajian budaya membutuhkan sebuah teori yang bisa menganalisis kasus-kasus yang terjadi dengan metodelogi “khas” kajian budaya, disinilah peran teori kritis dalam kajian budaya, bahkan teori kritis menjadi teori utama dikarenakan adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapai oleh teori kritis maupun kajian budaya, yakni mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik suatu keadaan “aman” dan “nyaman” yang teramati secara empirik, yang ternyata penuh dengan realitas semu.

Sejarah Cultural Studies (kajian budaya)

Apa yang dinamakan cultural studies saat ini dalam bidang ilmu sosial, merupakan sebuah pendekatan terhadap kebudayaan yang lahir di Inggris, yang mendapat bentuk pada akhir 1950-an tetapi kemudian diresmikan sebagai pusat studi kebudayaan yang dikenal dengan Center For Contemporary Cultural Studies di Birmingham pada tahun 1964, dengan direktur pertamanya, Richard Hoggart.
Kajian budaya di CCCS ini membawa aliran yang sering diidentifikasikan sebagai kulturalisme, khususnya British kulturalism. Kulturalisme, pada awalnya merupakan body work dari sejumlah pengarang seperti Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P. Thompson, Stuart Hall serta Paddy Whanel. Kesemuanya berasal dari kelas pekerja sehingga tidak mengherankan kalau mereka sangat dekat dengan karya-karya budaya popular.
Para intelektual kelas pekerja inimelihat tugas mereka memberikan kuasa bagi budaya orang-orang pada umumnya (the culture of common people) untuk melawan elitism kanonikal (budaya tinggi, high culture) dari kelas-kelas menengah dan tinggi. Fokus mereka adalah bagaimana budaya dipraktikan dan bagaimana budaya dibuat atau bagaimana praktik budaya membimbing berbagai kelompok dan kelas untuk melawan dominasi budaya. Sebaliknya para elit dominan mengekspresikan kekuasaannya dengan memberikan legitimasi bagi bentuk-bentuk dan praktek-praktek budayanya sendiri melalui proyeksi “penilaian lapangan” mereka.
Dari Inggris, kemudian kajian budaya berkembang dan bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Perancis dan India. seperti Thorstein Veblen, W.E. Du Bois, Charlotte Perkins Gilman, dan T.O. Matthiesen sebagai peletak fondasi teori untuk kajian budaya Amerika. Sementara untuk Australia, Graeme Turner mencatat sumbangan Russel Ward, Paul Willis, dan John Docker. Dari ketiga wilayah ini (Inggris, Amerika Serikat dan Australia), kemudian memunculkan mazhab yang berbeda dalam berkembangan selanjutnya.
Terakhir, tidak boleh terlupakan perkembangan yang khas pula kajian budaya yang dikenal sebagai mazhab India (Asia Selatan) yang diteoritisasi oleh Leela Ghandi, Gayatri Chakravorty Spivak, Homi K. Bhaba. Kajian mazhab India (Asia Selatan) ini berkembang lewat Subaltern Studies Group yang dikelola oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Disamping itu disebaran Asia dan Afrika masih dapat kita sebut nama Frantz Fanon, dan Edward W. Said, meskipun nama-nama ini, sebagian besar hidup tidak pada negara dunia ketiga yang menjadi basis teoritisasi yang mereka lakukan.
Kemudian kalau secara serius di perhatikan, akan secara umum terlihat bahwa kajian budaya ini merupakan reaksi kalangan intelektual atas perkembangan budaya pop yang pada awalnya timbul akibat akibat terjadinya industrialisasi dan urbanisasi sebagai rentetan dari Revolusi Industri di Inggris. Namun alasannya sudah tidak sesederhana ini, karena pada akhirnya ada pergeseran kajian budaya dalam memandang budaya pop.
Pergeseran ini terjadi karena adanya perubahan mendasar pada lanskap yang melatari kajian budaya era kontemporer ini. Setidaknya ada tiga kondisi yang dicatat oleh Melani Budianta, yaitu; Pertama, kondisi sosial psikologis. Para ilmuan sosial-humaniora merasa diri tidak berarti oleh keberhasilan intelektual/saintis dalam masyarakat kapitalis tingkat tinggi. Sehingga mereka (intelektual humanis) merasa butuh akan sebuah paradigma baru yang tidak terjebak pada bidang kajian sastra, politik, ekonomi atau sosiologi secara terpisah-pisah.
Kedua, kondisi kedua disiapkan oleh posmodernisme yang mewarnai produk budaya maupun wacana intelektual pada paruh terakhir abad ke-20. Wacana Posmodern ini meruntuhkan tembok pemisah antara produk budaya tinggi dan rendah yang merupakan fondasi seni modernis, dan yang terakhir Ketiga, perkembangan teori-teori pos struktural yang membantu menghancurkan dinding pemisah antar disiplin. Kajian ini dalam bahasa Clifford Geertz dianggap sebagai percampuran antar wacana yang berakibat goyahnya label disiplin dan klasifikasi genre.
Secara sederhana, wilayah garap kajian budaya dapat dipetakan menjadi tiga, mengikut pemetaan yang dilakukan oleh Melani Budianta, wilayah tersebut adalah :
a) Poskolonial-Nasional-Transnasional
Klasifikasi ini menjadi wakil dari tiga masa atau fase sejarah yang menantang dan sepertinya menjadi keharusan untuk dilalui oleh negara-negara dunia ketiga. Disaat mereka baru melepaskan diri dari kolonialisme, pada saat yang sama mereka di paksa untuk merumuskan budaya nasional ditengah fenomena transnasional akibat globalisasi. Kondisi ini merupakan wilayah kajian yang menantang. Untuk studi ini, ambil contoh misalnya, Edward W. Said dengan Orientalisme-nya, dan Bennedict Anderson dalam Komunitas Imajiner-nya.
b) Gender, Ras dan Etnisitas
Pengaturan norma dan perilaku yang diperlakukan atas dasar perbedaan jenis kelamin (gender), Ras dan Etnisitas merupakan proses sejarah. Ini semua bersifat kultural melalui, majalah-majalah wanita, karya sastra, iklan, televisi, dan institusi negara maupun agama, ini merupakan kajian yang menarik bagi kajian budaya. Misalnya kajian Paul Gilroy menganalisis tradisi absolutisme etnis/agama dan nasionalisme dari berbagai teks fiksi, sejarah, dan tokoh kulit hitam Inggris dan Amerika.
c) Sastra/Budaya Pop, Pembaca dan Institusi
Kajian budaya jenis ini memperkaya sosiologi sastra dan sejarah sastra dalam meneliti kaitan teks dengan sistem-sistem yang ikut menentukan keberadaannya (reproduksi, pengayom, pengarang, pembaca, kritikus). Taruhlah misalnya kajian David Glover dan Cora Caplan yang mengkaji sejumlah asumsi dibalik genre fiksi kriminal.
Dalam melakukan analisis terhadap wilayah garapnya, kajian budaya menggunakan beberapa bangunan teori dasar, yang utamanya mempergunakan teori-teori dari teori kritis mazhab Frankfurt. Kuatnya pengaruh teori mazhab Frankfurt, yang kemudian dikenal dengan teori kritis mazhab Frankfurt pada cultural studies dikarenakan banyaknya kesamaan-kesamaan yang ingin dicapai antara cultural studies, yang dipelopori oleh CCCS dengan mazhab Frankfurt. Kebanyakan pakar cultural studies merupakan teoritisasi kiri marxis atau setidaknya sosialis kiri. Kiri yang dimaksud disini mengacu pada kritis tterhadap struktur actual masyarakat dan menentang status quo. Bahkan bisa dikatakan cultural studies, merupakan penerapan Teori Kritis Frankfurt oleh kelompok Centre For Contemporary Studies-CCCS.
Teori kritis mazhab Frankfurt sendiri adalah salah satu aliran pemikiran kiri baru yang berawal di Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil. Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More