jatiluwih

jatiluwih

Kamis, 24 Februari 2011

Sejarah Cultural Studies (kajian budaya)

Apa yang dinamakan cultural studies saat ini dalam bidang ilmu sosial, merupakan sebuah pendekatan terhadap kebudayaan yang lahir di Inggris, yang mendapat bentuk pada akhir 1950-an tetapi kemudian diresmikan sebagai pusat studi kebudayaan yang dikenal dengan Center For Contemporary Cultural Studies di Birmingham pada tahun 1964, dengan direktur pertamanya, Richard Hoggart.
Kajian budaya di CCCS ini membawa aliran yang sering diidentifikasikan sebagai kulturalisme, khususnya British kulturalism. Kulturalisme, pada awalnya merupakan body work dari sejumlah pengarang seperti Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P. Thompson, Stuart Hall serta Paddy Whanel. Kesemuanya berasal dari kelas pekerja sehingga tidak mengherankan kalau mereka sangat dekat dengan karya-karya budaya popular.
Para intelektual kelas pekerja inimelihat tugas mereka memberikan kuasa bagi budaya orang-orang pada umumnya (the culture of common people) untuk melawan elitism kanonikal (budaya tinggi, high culture) dari kelas-kelas menengah dan tinggi. Fokus mereka adalah bagaimana budaya dipraktikan dan bagaimana budaya dibuat atau bagaimana praktik budaya membimbing berbagai kelompok dan kelas untuk melawan dominasi budaya. Sebaliknya para elit dominan mengekspresikan kekuasaannya dengan memberikan legitimasi bagi bentuk-bentuk dan praktek-praktek budayanya sendiri melalui proyeksi “penilaian lapangan” mereka.
Dari Inggris, kemudian kajian budaya berkembang dan bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Perancis dan India. seperti Thorstein Veblen, W.E. Du Bois, Charlotte Perkins Gilman, dan T.O. Matthiesen sebagai peletak fondasi teori untuk kajian budaya Amerika. Sementara untuk Australia, Graeme Turner mencatat sumbangan Russel Ward, Paul Willis, dan John Docker. Dari ketiga wilayah ini (Inggris, Amerika Serikat dan Australia), kemudian memunculkan mazhab yang berbeda dalam berkembangan selanjutnya.
Terakhir, tidak boleh terlupakan perkembangan yang khas pula kajian budaya yang dikenal sebagai mazhab India (Asia Selatan) yang diteoritisasi oleh Leela Ghandi, Gayatri Chakravorty Spivak, Homi K. Bhaba. Kajian mazhab India (Asia Selatan) ini berkembang lewat Subaltern Studies Group yang dikelola oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Disamping itu disebaran Asia dan Afrika masih dapat kita sebut nama Frantz Fanon, dan Edward W. Said, meskipun nama-nama ini, sebagian besar hidup tidak pada negara dunia ketiga yang menjadi basis teoritisasi yang mereka lakukan.
Kemudian kalau secara serius di perhatikan, akan secara umum terlihat bahwa kajian budaya ini merupakan reaksi kalangan intelektual atas perkembangan budaya pop yang pada awalnya timbul akibat akibat terjadinya industrialisasi dan urbanisasi sebagai rentetan dari Revolusi Industri di Inggris. Namun alasannya sudah tidak sesederhana ini, karena pada akhirnya ada pergeseran kajian budaya dalam memandang budaya pop.
Pergeseran ini terjadi karena adanya perubahan mendasar pada lanskap yang melatari kajian budaya era kontemporer ini. Setidaknya ada tiga kondisi yang dicatat oleh Melani Budianta, yaitu; Pertama, kondisi sosial psikologis. Para ilmuan sosial-humaniora merasa diri tidak berarti oleh keberhasilan intelektual/saintis dalam masyarakat kapitalis tingkat tinggi. Sehingga mereka (intelektual humanis) merasa butuh akan sebuah paradigma baru yang tidak terjebak pada bidang kajian sastra, politik, ekonomi atau sosiologi secara terpisah-pisah.
Kedua, kondisi kedua disiapkan oleh posmodernisme yang mewarnai produk budaya maupun wacana intelektual pada paruh terakhir abad ke-20. Wacana Posmodern ini meruntuhkan tembok pemisah antara produk budaya tinggi dan rendah yang merupakan fondasi seni modernis, dan yang terakhir Ketiga, perkembangan teori-teori pos struktural yang membantu menghancurkan dinding pemisah antar disiplin. Kajian ini dalam bahasa Clifford Geertz dianggap sebagai percampuran antar wacana yang berakibat goyahnya label disiplin dan klasifikasi genre.
Secara sederhana, wilayah garap kajian budaya dapat dipetakan menjadi tiga, mengikut pemetaan yang dilakukan oleh Melani Budianta, wilayah tersebut adalah :
a) Poskolonial-Nasional-Transnasional
Klasifikasi ini menjadi wakil dari tiga masa atau fase sejarah yang menantang dan sepertinya menjadi keharusan untuk dilalui oleh negara-negara dunia ketiga. Disaat mereka baru melepaskan diri dari kolonialisme, pada saat yang sama mereka di paksa untuk merumuskan budaya nasional ditengah fenomena transnasional akibat globalisasi. Kondisi ini merupakan wilayah kajian yang menantang. Untuk studi ini, ambil contoh misalnya, Edward W. Said dengan Orientalisme-nya, dan Bennedict Anderson dalam Komunitas Imajiner-nya.
b) Gender, Ras dan Etnisitas
Pengaturan norma dan perilaku yang diperlakukan atas dasar perbedaan jenis kelamin (gender), Ras dan Etnisitas merupakan proses sejarah. Ini semua bersifat kultural melalui, majalah-majalah wanita, karya sastra, iklan, televisi, dan institusi negara maupun agama, ini merupakan kajian yang menarik bagi kajian budaya. Misalnya kajian Paul Gilroy menganalisis tradisi absolutisme etnis/agama dan nasionalisme dari berbagai teks fiksi, sejarah, dan tokoh kulit hitam Inggris dan Amerika.
c) Sastra/Budaya Pop, Pembaca dan Institusi
Kajian budaya jenis ini memperkaya sosiologi sastra dan sejarah sastra dalam meneliti kaitan teks dengan sistem-sistem yang ikut menentukan keberadaannya (reproduksi, pengayom, pengarang, pembaca, kritikus). Taruhlah misalnya kajian David Glover dan Cora Caplan yang mengkaji sejumlah asumsi dibalik genre fiksi kriminal.
Dalam melakukan analisis terhadap wilayah garapnya, kajian budaya menggunakan beberapa bangunan teori dasar, yang utamanya mempergunakan teori-teori dari teori kritis mazhab Frankfurt. Kuatnya pengaruh teori mazhab Frankfurt, yang kemudian dikenal dengan teori kritis mazhab Frankfurt pada cultural studies dikarenakan banyaknya kesamaan-kesamaan yang ingin dicapai antara cultural studies, yang dipelopori oleh CCCS dengan mazhab Frankfurt. Kebanyakan pakar cultural studies merupakan teoritisasi kiri marxis atau setidaknya sosialis kiri. Kiri yang dimaksud disini mengacu pada kritis tterhadap struktur actual masyarakat dan menentang status quo. Bahkan bisa dikatakan cultural studies, merupakan penerapan Teori Kritis Frankfurt oleh kelompok Centre For Contemporary Studies-CCCS.
Teori kritis mazhab Frankfurt sendiri adalah salah satu aliran pemikiran kiri baru yang berawal di Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil. Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

2 komentar:

Trima kasih atas karya tulis ttg sejarah cultural studies yang sangat membantu saya untuk memahami cultural studies..

Warna background dan tulisannya gak nyaman buat di baca :( dsn kurang besar. Tp informasinya bagus

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More