No Istilah Definisi, Konsep dan Teori
1. Hegemoni Hegemoni adalah cara kelas penguasa mengontrol media dan pendidikan (martin clark-www.links.org/au/node/1260)
Hegemoni juga merupakan suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggotanya untuk memperoleh dukungan dari mayoritas (Lenin-gagasan-gagasan politik Gramsci hal 21)
Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik atau kelompok kelas hegemonik adalah kelompok kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lainnya dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi (Gramsci- gagasan-gagasan politik Gramsci hal 22)
2. Dominasi Teori dominasi dapat disebut dengan teori kritik identitas yang bukanlah sebagai pengetahuan. Namun, mempresentasikan teori sosial bahwa subjek dapat menguasai sepenuhnya objek alam dan orang lain, dengan menguasai objek secara sempurna lewat konsep saintifik atau dengan memanipulasi objek secara sosial dan secara teknologis (http//dominasi/teori-kritis-mazhab-frankfrut.blogspot.com)
Teori dominasi memiliki konsep adanya ketidaksetaraan hirarki sosial berdasarkan kelompok merupakan hasil dari pendistribusian nilai sosial (social value) secara tidak adil kepada kelompok-kelompok masyarakat, baik nilai sosial positif maupun negatif. Ketidaksetaraan distribusi dari nilai sosial ini, pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh ideologi sosial, keyakinan, mitos, dan doktrin religius tertentu sebagai alat pembenaran. (Sidanius dan Pratto, 1999, p.302 dalam http//Zuryawan Isvandiar Zoebir’s Blogspot.html).
Menurut Hall (dalam McQuail, 1987), konsep dominasi, yang berarti pemaksaan kerangka pandangan pandangan secara langsung terhadap kelas yang lebih lemah, melalui penggunaan kekuatan dan keharusan ideologi yang terang-terangan, belumlah cukup untuk menampung semua kompleksitas permasalahan. Orang harus memahami bahwa dominasi berlangsung pada tahap sadar maupun tidak sadar. Dengan kata lain, orang harus melihatnya sebagai alat dari sistem hubungan yang terkait, bukannya sebagai upaya pilih-kasih para individu yang dilakukan secara sadar dan terang-terangan melalui penetapan peraturan dan pengucilan yang dilakukan melalui bahasa dan wacana.
(Denis McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa, Jakarta, Erlangga)
3. Representasi Representasi adalah sebuah fenomena yang, dalam bentuk-bentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar, suara, dll), memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan obyek itu sendiri, dan dimana obyek itu bisa berasal dari dunia materi, peristiwa, manusia, sosial, ide, dan imajiner.Penyebutan representasi dalam ilmu-ilmu humaniora saat ini memiliki status yang lintas-ilmu dengan berbagai pemakaian (http://www.9icsr.indonesia.net)
Jovchelovitch (dalam Bauee & George Gaskell, 1999) mengatakan bahwa representasi adalah jembatan antara individu dengan masyarakat. Representasi adalah sesuatu yang berada diantara keduanya, sebuah media yang menghubungkan obyek, antara subyek dengan aktivitas. Representasi dikatakan tertanam di dalam komunikasi dan benak manusia, lalu ia dikomunikasikan atau disebarluaskan sebagaimana bahasa tersebar di masyarakat. Secara formal sosial representation dapat dikarakteristikan sebagai relasi antara 3 elemen:
• Subyek, atau pembawa representasi tersebut (s).
• Obyek yang dijadikan representasi, entitas konkrit atau ide abstrak (o).
• Sebuah proyek, sebuah konteks pragmatis dari kelompok sosial dari kelompok sosial dimana sebuah representasi sosial menjadi masuk akal.
Antara subyek subyek, obyek, dan proyek membentuk sistem mutual diantara ketiganya. Yang ketiga yaitu ‘proyek’ menjadi penghubung antara yang kedua.
Dalam sebuah proses representasi sosial terjadi peleburan nilai simbolis, terjadi pula penghubungan antara obyek dengan subyek (Jodelet dalam Hati, 2005).
Representasi sosial sebagai teori dasar untuk Psikologi Sosial
Dari kajian-kajian yang meneliti gejala pada taraf kognisi individual, kini akhirnya psikologi sosial menaruh perhatian khusus terhadap proses sosial. Moscovici dalam teorinya, mengatakan bahwa knowledge (baik yang sifatnya teoritis maupun empiris) adalah hasil dari konteks lokal, sosial, kultural, dan historikal.
Moscovici (dalam Hati, 2005) mendefinisikan representasi sosial sebagai “Sebuah sistem nilai, ide dan praktik dengan 2 fungsi utama: pertama, untuk membentuk keteraturan yang membantu manusia mengarahkan serta menguasai diri mereka dalam dunia material dan sosial. Kedua, agar membantu agar komunikasi terjadi diantara anggota dari sebuah komunitas dengan menyediakan kepada mereka sebuah kode untuk pertukaran sosial, serta menamai dan mengklasifikasikan secara ambigu berbagai macam aspek dari dunia, individu, dan sejarah kelompok (Moscovici, 1973)”
.“Representasi sosial mengakar kepada diversitas dari individu, sikap dan fenomena. Hal ini meliputi keanehan dan keserbakemungkinan yang terdapat di dalamnya. Tujuannya adalah untuk menemukan bagaimana individu dan kelompok dapat mengkonstruk sebuah dunia yang stabil, dapat diprediksi dan memiliki diversitas. (Moscovici dalam Hati, 2005)”. Representasi sosial memiliki suatu proses dalam memahami suatu obyek, lalu mengkomunikasikannya kepada individu-individu lain. Dalam proses representasi sosial ada sebuah informasi yang disebarkan (shared), pengetahuan ini menjadi sebuah pengetahuan sosial. Tujuan utama dari proses representasi sosial adalam mengubah informasi yang unfamiliar menjadi familiar. Proses yang digunakan untuk mencapai hal tersebut adalah anchoring dan objectification (Moscovici, dalam Smith, Harre & Langenhove, 1995).
1.Anchoring
Anchoring adalah sebuah proses perubahan obyek sosial, peristiwa dan tindakan yang awalnya tidak dikenali kemudian menjadi bentuk yang lebih dikenali. Jadi, berbagai benda, pengalaman, relasi, dan praktek diubah sesuai dengan worldview dan kategori yang sudah ada dengan menghapus berbagai hal yang asing dan menakutkan. Yang menjadi titik referensi dalam proses ini adalah kategori-kategori yang sudah terlebih dahulu ada, dimana fenomena terintegrasi ke dalam kategori tersebut. Lalu, antara fenomena yang sudah terkategorisasi dengan kategori yang lain terjadi proses pembandingan. Dengan kata lain proses ini disebut dengan generalizing dan particularizing. Bagi Moscovici tidak ada persepsi dan berpikir tanpa anchoring. Tujuan utama dari klasifikasi dan penamaan tersebut adalah untuk memfasilitasi interpretasi terhadap karakteristik dan pemahaman mengenai intensi dibalik perilaku manusia.
2. Objectification
Proses obyektifikasi lebih aktif jika dibandingkan dengan anchoring. Moscovici menjelaskan secara lebih rinci mengenai tahap-tahap dari proses ini. Pertama sebuah ide atau obyek ditemukan dan dibentuk dalam sebuah image. Lalu konsep yang sudah dalam bentuk image tersebut menjadi terintegrasi atau berhubungan dengan pola nukleus figuratif. Yaitu sebuah images yang mensimbolisasikan ide yang kompleks. Istilah Ego dalam bidang psikonalisa bermakna sebagai sebuah komponen dari kesadaran yang bertugas menjaga kestabilan antara superego dengan id. Akan tetapi dapat kita temukan bahwa dalam kehidupan sehari-hari istilah ego memiliki makna yang berbeda.
Komponen utama dari proses obyektifikasi secara umum adalah menseleksi dan mendekontekstualisasi elemen-elemen dari sebuah teori. Atau dengan kata lain, membentuk sebuah nukleus figuratif dan naturalisasi dari elemen-elemennya. Implikasi dari proses ini ada 2. Yang pertama adalah apa-apa yang dahulunya abstrak dalam sebuah teori ilmiah diubah menjadi sesuatu yang konkrit. Moscovici (dalam Smith, Harre & Langenhove, 1995) mengatakan secara lebih khusus bahwa apa-apa yang dipikirkan atau dikonsepsikan secara mental berubah menjadi sesuatu yang dipersepsi.Yang kedua, adalah ketika konsepsi mental tersebut sudah memasuki area pengetahuan sehari-hari, maka berbagai contoh dan aplikasi dari konsepsi mental tersebut akan dapat kita temukan dengan mudah. (Jodelet dalam Smith, Harre & Langenhove, 1995)
4. Resepsi Resepsi sastra merupakan sebuah konsep yang dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. (artikel-asia padmopuspito)
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009: 165).
Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika.
Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama dalam teori resepsi adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai kekuatan pembentuk sejarah. Dalam pandangan Jauss (1983: 12) suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu yang diharapkan.
Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa karya sastra sejak awal kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Apresiasi pembaca pertama terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tanggapan-tanggapan dari pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14).
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan karena adanya perbedaan horizon harapan dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya.
Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2) pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang pembaca bayangan.
Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon harapan pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru yang mendominasi.
Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika, melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama; (2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca; (3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan sastra pembaca; (4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya mempertanyakan teks; dan (5) siatuasi penerimaan seorang pembaca.
Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca; (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya; dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari pengetahuan tentang kehidupan.
(phianzsotoy.blogspot.com/2010/06/teori-resepsi-sastra-hrjauss.html)
5. Ideologi Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". (http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi)
Ideologi ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi (karl marx-pemikiran karl marx hal 121)
Terdapat beberapa bagian ideologi menurut Gramsci. Ia membedakan sistem yang berubah-ubah (arbitrary systemis) yang dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu dan ideologi organic yang bersifat historis, yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu (sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Ideologi mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya). (Gramsci- gagasan-gagasan politik Gramsci hal 83)
6. Post modern Postmodernisme berarti kritik-krtik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain, istilah postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya (postmodern-pengertian-dan-ulasan.html)
Post Modern didefinisikan sebagai ketidak percayaan terhadap metanarasi. (jean-francois lyotard,-krisis dan masa depan pengetahuan postmodernisme, hal cover)
Pemikiran mengenai Post Modern bisa diklasifikasikan menjadi 3:
a. kategori pertama adalah pemikiran yang merevisi paradigma kemodernan dengan merujuk kembali pola-pola pikir pra modern, meskipun tidak dalam artian primitive.
b. pemikiran yang hendak merevisi paradigma kemodernan dengan mengoreksi tesis-tesis tertentu dari modernisme, namun tanpa menolaknya secara total.
c. pemikiran yang memiliki keinginan untuk mengatasi segala bentuk pandangan dunia modern melalui gagasan yang sama sekali anti pandangan dunia. (Derrida-Derrida, Hal 12-16)
7. Post kolonial a. Pengertian Postkolonialisme
Postkolonialisme, dari akar kata “post” + kolonial + “isme,” secara harfiah berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Dasar semantik istilah ‘postkolonial’ tampaknya hanya berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Dalam karya-karya sebelumnya, istilah postkolonial ini tak jarang juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan (‘masa kolonial dan postkolonial’). Misalnya saja, dalam merekonstruksi sejarah-sejarah kesusastraan nasional atau memaparkan kajian-kajian perbandingan antar tahapan-tahapan dalam sejarah-sejarah tersebut. Secara umum, meski istilah ‘kolonial’ telah digunakan untuk menyebut masa prakemerdekaan dan sebagai istilah untuk menggambarkan karya-karya nasional, seperti ‘tulisan Kanada modern’ atau kesusastraan India Barat kontemporer, istilah tersebut juga dipakai untuk menyebut masa setelah kemerdekaan.
Menurut Ratna, prefiks “post” tidak semata-mata mengacu pada makna “sesudah” kolonial atau juga tidak berarti “anti” kolonial. Sesuai dengan pendapat Keith Foulcher dan Tony Day postkolonial mengacu pada kehidupan masyarakat pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas. Sasaran postkolonialisme adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman kolonialisme. Objek postkolonialisme juga meliputi karya-karya yang ditulis pada masa berlangsungnya kolonialisme (Ratna, 2008: 150, dalam, Wiwik Hidayati-Pengaruh Dominasi Penjajah Atas Subaltern
Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan:Analisis Berdasarkan Pendekatan Postkolonialisme)
Objek kajian postkolonialisme Indonesia yang secara umum mengacu pada postkolonilisme Barat, mengalami beberapa masalah:
1. Objek tidak bisa dibatasi secara pasti. Meskipun demikian, dalam ruang lingkup yang paling sempit, objek postkolonialisme Indonesia adalah masa-masa sesudah proklamasi. Dalam hal ini, postkolonialisme sama dengan pascakolonialisme. Secara harfiah, pascakolonialisme Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1945, sejak diumumkannya Proklamasi kemerdekaan Soekarno dan Hatta.
2. Secara definitif postkolonialisme adalah teori, pemahaman dalam kaitannya dengan kondisi-kondisi suatu wilayah negara yang pernah mengalami kolonisasi. Jadi, objeknya terbentang sejak Belanda tiba pertama kali di Banten (1596) sampai sekarang.
Dengan mempertimbangkan kaitannya dengan orientalisme, maka objek poskolonialisme sudah ada sebelum kedatangan bangsa Belanda dan kolonialis lain hingga sekarang. (Wiwik Hidayati-Pengaruh Dominasi Penjajah Atas Subaltern Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan:Analisis Berdasarkan Pendekatan Postkolonialisme, hal 37)
Teori Poskolonial sering juga disebut sebagai metode dekonstruktif terhadap model berpikir dualis, yang senantiasa memposisikan dua entitas secara biner, diametral atau vis a vis. Model berpikir dualis ini, sebenarnya sudah dikenal sejak masa Yunani. Model berpikir dualis yang mengendap dalam ilmu pengetahuan Barat, terutama dalam kajian masalah Timur (orientalism), senantiasa menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, pengamat, subyek dianggap memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur, yang notabene sebagai terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Dalam pandangan orang Barat modern, identitas mereka berbeda dengan identitas orang Timur, yang cenderung irasional, emosional, kekanak-kanakan, jahat dan berbagai istilah peyoratif yang lain. Karena, meminjam pendapat Edward Said, pandangan dan teori-teori yang di hasilkan Barat tidaklah netral dan obyektif, tapi sengaja didesain melalui rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Menurut Said, kritik terhadap modernisme dan munculnya pemikiran tentang “the other” (yang lain) di Eropa berasal dari wilayah jajahan (seperti dalam karya Eliot, Conrad, Mann, Proust, Woolf, Lawrence, dan Joyce). Karena itu, konsep Orient (Timur) dan Occident (Barat) merupakan istilah penting dalam teori poskolonial. (www.tsanincenter.blogspot.com)
8. Post Struktural Post Struktural merupakan gerakan yang merupakan reaksi terhadap strukturalisme yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal, sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual. Mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai golongan poststrukturalis, menurut Mackenzie biasanya menjauhkan diri mereka dari paradigma dominan dalam teori politik. Oleh karena itu poststrukturalis adalah kritik terhadap Liberalisme, Marxisme. Mereka mempertanyakan fondasi dari teori politik terutama arti dari “hal sosial” (the social) dan “hal politik” (the political).Poststrukturalisme selalu diasosiasikan dengan sekelompok intelektual yang dahulu (1950-1960) berkumpul di Perancis, mereka mengkritik analisa strukturalis yang sempat mendominasi kehidupan intelektual Perancis pada masa itu. Tokoh-tokoh dari poststrukturalisme ini antara lain adalah para penulis seperti Cixous, Deleuze, Derrida, Foucault, Guattari, Irigaray, Kristeva, dan Lyotard. Definisi yang mendekati arti dari poststrukturalisme itu seniri adalah satu bentuk mempertanyakan konteks intelektual tertentu. (http://karyailmiahdiahsetiawaty.wordpress.com/2008/03 15/poststrukturalisme-dan-post-modernisme)
Post strukturalisme merupakan terbukanya katup struktur yang mengunci teks, mengembalikan bahasa pada kekuatannya, memberdayakan kembali teks pada berbagai kemungkinan dan jejak penandaan yang tak jelas pusat refrensialnya. Dalam teks dan bahasa semacam ini, logosentrisme dinetralkan. Tak ada lagi pusat atau subjek yang dapat dijadikan tumpuan makna. Yang ada hanyalah teks dan intertekstualitas itu sendiri: teks yang menjalin maknanya dari penanda-penanda yang menghapus dan menunda kehadiran. (Derrida, Derrida Hal 71)
Post Strukturalisme adalah rangkain tanda yang berkelanjutan tanpa pernah sekalipun bertambat pada realitas sesungguhnya. Makna selalu dalam kondisi menyedang, bahasa pun berubah sesuai alunan sejarah. Perubahan itu tidak diatasi oleh satu makna absolut yang menggantung diluar. Perubahan bahasa adalah perubahan realitas itu sendiri. (Yasraf Amir Piliang, Post Realitas, Hal xxii)
9. Rekonstruksi Rekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai sebentuk kata kerja merekonstruksi yang dalam hal ini memiliki kesamaan pengertian operasional dengan menginterpretasikan atau menafsirkan. (Kuntowijoyo, 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. Hlm. 66).
Rekonstruksi adalah membangun atau membentuk kembali sesuatu yang telah dianggap punah; rekonstruksi juga dapat dimaknai sebagai suatu upaya membangun sesuatu yang dianggap penting untuk zamannya meskipun nilai itu tidak persis seperti yang terjadi sebelumnya. (Duija, Nengah. 2005. Disertasi; Tokoh Sabdopalon : Rekonstruksi Pemaknaan Politik Kebudayaan Hindu-Islam di Blambangan, Banyuwangi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana, hlm. xxxv).
Rekonstruksi berarti menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi, yakni dalam rangka menciptakan sebuah pusat baru yang bersifat tetap, abadi, transenden, dan metafisis, yaitu di dalamnya tersimpan logos, kebenaran, dan makna akhir yang baru. Rekonstruksi, dalam hal ini, dapat ditafsirkan sebagai sebuah proses penataan ulang secara terus menerus struktur yang telah didekonstruksi. Dengan demikian reknostruksi dalam hal ini dimaksudkan menata kembali makna baru yang ditimbulkan oleh proses dekonstruksi terhadap makna teks cerita. (Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung : Jalasutra, hlm. 279)
10. Dekonstruksi Dekonstruksi merupakan perombakan dan mencari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam banguan epistimologis, lalu membiarkannya centang-perenang dan tidak memungkinkannya untuk dibangun kembali. (Derrida, Derrida Hal 21)
Dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi” sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian epistimologis dari kata “analisis”, yang berarti “mengurai, melepaskan, membuka” ketimbang pengertian epistimologis kata “destruksi”. Kedekatan epistimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks ketimbang operasi yang merusak teks itu sendiri. Tujuan dekonstruksi adalah mengungkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Karena itu jika sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah makna, tapi klaim salah satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar ketimbang pemaknaan lain yang berbeda. (Barbara Johnson dalam derrida hal 79-80)
Dekonstruksi adalah aktivitas pembacaan yang terikat dengan teks dan tidak bisa berdiri sendiri sebagai sistem operasi konsep-konsep yang tertutup. Pembacaan teks di sini lebih berarti menunda makna kehadiran yang di anggap bersemayam di balik teks tersebut, baik dalam teks tuturan dan tulisan. Pembongkaran selubung makna yang menutupi teks adalah apa yang ingin dipentaskan dalam aksi-aksi grammatologis.
Grammatologi awalnya adalah proklamasi kemenangan tulisan atas tuturan melalui pembalikan hierarki struktur dalam teks. Grammatologi juga merupakan cara kerja dekonstruksi yang ditujukan pada struktur dalam teks tulisan itu sendiri. Teks tulisan bagi grammatologi adalah suatu tanda (sign) yang berkontradiksi antara penanda dan petandanya, yang menghilangkan pusat teks melalui penjejakan (trace) makna. Ketika pusat tercerabut dari tempatnya, ia pun akan menimbulkan ketidakstabilan, yang memberi petunjuk pada bahasa akan kebebasan permainan.
Pertarungan penanda dan petanda bukanlah metode penguasaan dengan mencari kesatuan yang bermuara pada petandanya, namun dengan penjejakan (trace). Sehingga runtuhnya oposisi biner menempatkan teks menjadi polisemi dalam permainan ketidaktertangkapan makna secara terus-menerus atau diseminasi. Usaha tersebut memerlukan desublimasi konseptual atau “keterjagaan” yang memiliki kekuatan menelanjangi sikap Barat terhadap pemikiran dan bahasa.
Dekonstruksi bisa dijelaskan dengan cara lain melalui cara kerja différance. Différance adalah manifestasi dari dekonstruksi penanda secara grafis. Différance seperti halnya tulisan adalah pelafalan anonim yang kebal terhadap segala bentuk reduksi. Arti dari différance sendiri berada pada posisi menggantung, antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menunda). (Fayadl, 2004: 110)
Status makna kata yang menggantung ini adalah pembuktian tidak utuhnya kata différance itu sendiri. Sekaligus membuktikan kelemahan Saussure, yang menempatkan struktur sebagai pusat yang menyatukan perbedaan bahasa yang berisi oposisi dan men-superior-kan tuturan dari pada tulisan. Status menggantung juga mempersilahkan grammatologi untuk bertindak, ketidakpastian dan tertundanya makna terus-menerus adalah bagaimana grammatologi diterapkan secara grafis.
Pelafalan différance meskipun pada akhirnya melahirkan struktur diferensial dalam tulisan, namun tidak menghasilkan kehadiran. Huruf “a” dalam kata itu mengingatkan kita bahwa, kata yang dilafalkan secara sempurna selalu tidak hadir, dia dibentuk melalui rangkaian kesalahan pelafalan yang tak berujung, bahkan dalam struktur grafis sekalipun (Fayadl : 110).
Dekonstruksi juga mereproduksi beragam pengertian yang menyertainya, namun pada akhirnya tidak melahirkan definisi yang jelas. Derrida mengingatkan berbagai pengertian tersebut bukanlah kata dan konsep. Pengertian-pengertian tersebut adalah kata yang tidak utuh karena maknanya harus ditunda. Mereka harus saling dipertukarkan satu dengan lainnya secara acak, sehingga membentuk mata rantai-mata rantai kata.
Semiologi sebagai ilmu pertandaan yang bekerja mengoposisikan penanda dan petanda dengan metode yang regorous, pada akhirnya ketika dijangkiti virus dekonstruksi dengan sendirinya akan menghadapi kehancuran diri. Penanda sebagai bentuk material dari tanda bukan lagi sebagai derivasi langsung dari petanda. Struktur yang selama ini menjamin adanya kehadiran makna dalam bahasa tidak lagi mendiami tempatnya. Hubungan pertandaan tidak ditentukan oleh struktur sebagai pusat kekuatan makna yang bermuara pada petanda yang tunggal. Sebab pusat sebagaimana yang dibaca Derrida atas Lévi-Strauss terhadap mitologi adalah laksana ilusi historis (Derrida, 2001: 46).
Maka makna itu ditentukan oleh jejak (trace) penandanya, yang senantiasa berjejak, bergeser, berpindah ke sembarang arah. Sehingga teks adalah permainan ketidakpastian polisemi bahasa yang diseminasif. Dengan membalik struktur hierarki dalam hubungan pertandaan yang sekaligus menghilangkan oposisinya, maka tidak ada superioritas pada salah satu termanya. Demikianlah penanda akan senantiasa bergeser terus-menerus (http://sharing social theory.blogspot.com)
11. Identitas Identitas Sosial, adalah bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya (Taylor dan Moghaddam, 1994)
Erikson (1989) membedakan dua macam identitas, yakni identitas pribadi dan identitas ego. Identitas pribadi seseorang berpangkal pada pengalaman lansung bahwa selama perjalanan waktu yang telah lewat, kendati mengalami berbagai perubahan, ia tetap tinggal sebagai pribadi yang sama. Identitas pribadi baru dapat disebut identitas Ego kalau identitas itu disertai dengan kualitas eksistensial sebagai subyek yang otonom yang mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam batinnya sendiri serta masyarakatnya. Menurut erikson, proses pembentukan identitas berlangsung secara pelan-pelan dan pada awalnya terjadi secara tak sadar dalam inti diri individu. Proses pembentukan identitas yang berangsur-angsur itu sebenarnya sudah dimulai pada periode pertama, yakni periode kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar.
Jacques Lacan, psikoanalis asal Prancis, berpendapat bahwa awal pengenalan identitas diri hadir ketika seorang mengalami apa yang disebut dengan fase cermin (Lacan, 1977). Sebelum masuk ketahap tersebut, balita belum bisa mengenal pemisahan antara diri sendiri dan orang lain, bayi dan ibunya, di dalam dan di luar, laki-laki dan perempuan. Fase cermin berlangsung dalam bentuk keterbelahan antara aku yang melihat dan aku yang dilihat. Di sini subjek diidentifikasikan dengan sesuatu yang lain dengan dirinya sendiri (bayangan pada cermin), dan citra subjek itu sendiri yang terbangaun karenanya bergantung pada keterasingan, pada pemindahan diri kepada yang lain. Pada tahap ini, citra diri membentuk pengenalan diri yang keliru. Subjek menemukan bayangannya yang memikat sepanjang ia menghasilkan sebuah gambar diri yang koheren, ketika tubuh anak yang sesungguhnya benar-benar suatu dorongan-dorongan yang sembrawut.
Kesembrawutan pada fase cermin tersebut akan menjadi lebih teratur ketika sang subjek mulai memasuki tahap bahasa dan tahap hukum. Keterbelahan tahapan ini berbentuk aku yang berbicara dan aku yang dibicarakan. Dalam memasuki tahap bahasa kita menjadi akrab dengan karakter-karakter dalam sebuah kisah, yaitu kisah narasi di mana bahasa dengan tidak peduli terus bercerita tanpa mempedulikan aspirasi dan hasrat individu. Buat lacan, identitas diri atau subjektifitas adalah produk bahasa dan tidak ada sesuatu apa pun di luar bahasa.(http:// Tulisan Idhamsyah.blogspot.com)
Identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya (Taylor danMoghaddam, 1994). Proses social comparison merupakan serangkaian pembandingan dengan orang / kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain (Hogg dan Abram, 1988)
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas sosial positif dicapai melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan invidividu dari kelompok yang lebih rendah ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu cukup terbuka. Namun demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek. (Hogg dan Abram, 1988; Sarwono, 1999, dalam DP. Budi Susetyo, Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia)
12. Modal budaya Berdasarkan analisis Bourdieu yang dimaksud modal budaya di sini yaitu kompetensi, keterampilan atau kualifikasi (http:// www. Pusat Studi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial - Universitas Negeri Jakarta.com).
Modal Budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:
1) Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya;
2) Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi;
3) Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas);
4) Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis;
5) Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan buruk.
6) Kemampaun berbahasa dengan segala retorika
Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri seseorang (http:// manajemen dakwah:teori strukturalisme.blogspot.com).
Modal Budaya dapat berupa seni, bahasa dan pendidikan. Menurut Bourdieu modal sebagai relasi social yang terdapat didalam suatu system pertukaran baik material maupun symbol tanpa adanya perbedaan.
Di dalam rumusan generatif Bourdieu diejalaskan tentang keterkaitan antara habitus, modal, ranah yang bersifat langsung. Dimana nilai yang diberikan modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan cultural habitus. Dalam hal ini Bourdieu juga memandang modal sebagai basis dominasi yang dapat dipertukarkan dengan jenis modal yang lainnya. (http://sharing social theory.blogspot.com)
13. Modal Simbolis Menurut Bourdieu, Modal Simbolik berupa segala bentuk prestise status, otoritas dan legitimasi yang terakumulasi. (http:// manajemen dakwah:teori strukturalisme.blogspot.com).
Bourdieu melihat Modal Simbolik atau Symbolic Capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence).(http://sharing social theory.blogspot.com)
Modal simbolik mencakup kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi akibat mobilisasi. Modal ini dapat menunjukkan status individu secara fisik, melalui kepemilikan barang-barang mewah. (Bourdieu, dalam Achmad Faesol-MENGGAGAS PERUBAHAN SOSIAL PROFETIK hal 30)
14. Resistensi Resistensi terkadang dimaksudkan dalam paradigma konflik, padahal memiliki bentuk yang berbeda. Resistensi galibnya menjadi titik tengah dari dinamika teori konflik Marxian dan teori konflik Non-Marxian. Jika konflik masih berkutat pada frame teoritis dalam melihat realitas, maka resistensi menekankan pada aspek empiris serta melakukan sensitizing atau dialog secara kreatif terhadap realitas sosial. Inilah yang kemudian menjadi titik tengah atau jalan keluar dari kecenderungan teori konflik yang lebih melihat persoalan dari atas sehingga sarat dengan adanya generalisasi.
Resistensi lebih menekankan pada aspek manusia. Ini menjadi pendekatan baru yang berjalan selaras dengan lahirnya berbagai studi etnografi baru (new etnography) yang mengalami pergeseran memandang manusia yaitu dari obyek ke subyek. Geertz (1973) mengatakan, antropolog tampaknya harus berada di tengah-tengah karena posisinya yang tidak melulu pemikiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata. Gagasan tentang resistensi berada pada posisi di tengah-tengah di antara pemikiran Marxisme dalam antropologi dan pemikiran antropologi simbolik yang lebih berorientasi pada kebudayaan atau yang memiliki sensitivitas budaya. (http://timurangin.blogspot.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html)
Terdapat lima komponen dasar tentang Resistensi:
1. Tindakan resisten (resistance behaviors). Dibagi lagi menjadi apati (tidak aktif, menjauhi, dan kurangnya ketertarikan), resistensi pasif (tindakan menghambat, memberi alasan untuk menghindari), resistensi aktif (menyuarakan ketidak sukaan dan mengajak orang lain untuk tidak suka), dan resistensi agresif (menyerang sistem, memboikot, bahkan sampai menghancurkan).
2. Objek resistensi (object of resistance). Berhubungan dengan isi apa yang diresisten.
3. Ancaman yang dirasakan (perceived threats), yaitu perasaan emosional yang berlebihan atau merasakan situasi yang berbahaya.
4. Kondisi awal (initial conditions). Kondisi awal seperti distribusi kekuasaan atau kegiatan rutin yang stabil mempengaruhi resistensi yang dirasakan.
5. Subjek resistensi (subject of resistance), yaitu entitas yang melakukan tindakan resisten. (Liette Lapointe, Suzanne dalam Agung Firmansyah, hal 1)
Teori Resistensi De Witt ( 1979), Teori tersebut mengatakan bahwa dalam suatu komunitas, konsensus tidak pernah tercapai seratus persen dan mereka yang tidak setuju pada suatu saat akan mengadakan
perlawanan yang dilakukan secara nyata dan diam-diam. (De Witt dalam Ni Nyoman Sukeni, SH. Msi.- Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan dalamPelaksanaan Program Keluarga Berencana di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng Bali)
15. Gaya hidup Istilah lifestyle/gaya hidup ini awalnya diciptakan oleh psikolog Austria Alfred Adler tahun 1929. Dalam sosiologi, lifestyle/gaya hidup adalah cara seseorang hidup. Sebuah gaya hidup merupakan karakteristik perilaku yang masuk akal untuk kedua orang lain dan diri sendiri dalam suatu waktu dan tempat, termasuk hubungan sosial, konsumsi, hiburan, dan berpakaian. Perilaku dan praktek dalam gaya hidup adalah campuran kebiasaan, cara-cara konvensional dalam melakukan sesuatu, dan beralasan tindakan. Sebuah gaya hidup biasanya juga mencerminkan sikap individu, nilai-nilai atau pandangan dunia (http://hilaludinwahid.com/lifestyle-gaya-hidup/)
Gaya hidup menurut Kotler (2002, p. 192) adalah pola hidup seseorang di dunia yang iekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Menurut Assael (1984, p. 252), gaya hidup adalah “A mode of living that is identified by how people spend their time (activities), what they consider important in their environment (interest), and what they think of themselves and the world around them (opinions)”.
(http://cara membuat blog.blogspot.com)
Menurut Minor dan Mowen (2002, p. 282), gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Selain itu, gaya hidup menurut Suratno dan Rismiati (2001, p. 174) adalah pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan.
Dari berbagai di atas dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu. Faktor-faktor utama pembentuk gaya hidup dapat dibagi menjadi dua yaitu secara demografis dan psikografis. Faktor demografis misalnya berdasarkan tingkat pendidikan, usia, tingkat penghasilan dan jenis kelamin, sedangkan faktor psikografis lebih kompleks karena indikator penyusunnya dari karakteristik konsumen.
(http://cara membuat blog.blogspot.com)