jatiluwih

jatiluwih

Selasa, 09 Agustus 2011

Filsafat Wedanta

Filsafat Wedanta


Filsafat merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni Philosophia, yang terdiri dari kata philos, yang berarti cinta atau suka, dan shopia yang berarti bijaksana. Dengan demikian,secara etimologis, filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan (Praja, S, 2003:1-2). Secara garis besar perkembangan filsafat di dunia dibagi menjadi 2 kubu, yakni filsafat yang mengacu ke timur (Asia) dan filsafat yang mengacu pada barat (Eropa).
Dari kedua kubu filsafat tersebut, yang pertama berkembang adalah filsafat yang berasal dari timur. Filsafat timur sendiri sebenarnya terdiri dari tiga cabang yang didasarkan pada periodeisasi dan wilayahnya, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Arab. Filsafat India mengarah pada Hinduisme dan Budhaisme, filsafat Cina mengarah kepada Taoisme dan Confusianisme, sedangkan filsafat Arab, tentu saja mengarah kepada Islam.
Mengacu pada periodeisasi filsafat timur, filsafat yang berkembang pertama kalinya adalah aliran filsafat India yang mengarah kepada Hinduisme dan Budhaisme. Perkembangan filsafat India sendiri dapat dibagi menjadi 4 zaman yakni:
1.      Zaman Prasejarah
2.      Zaman Weda
a.       Zaman Weda Purba
b.      Zaman Brahmana
c.       Zaman Upanisad
3.      Zaman Budha
4.      Zaman Purana
Pada zaman Weda, filsafat India mengalami awal perkembangan yang sangat pesat. Pada masa ini, muncullah weda, yang bisa dibagi menjadi 4 bagian (samhita), yakni:
1.      Rg Weda (nyanyian pujaan-pujaan)
2.      Sama Weda (mantra yadnya)
3.      Yajur Weda (rumusan upacara-upacara korban)
4.      Atharwa Weda (mantra-mantra mistik)
Pada masa ini pula dilahirkan 3 kitab suci yang pada nantinya berperan penting dalam agama Hindu. Kitab itu antara lain, Brahmana, kitab yang berisi tentang spekulasi tentang kurban dan kedudukan pendeta-pendeta. Aranyaka, kitab yang lebih menekankan pada naskah-naskah esoteris yang merupakan hasil refleksi dari kaum wanaprastha, kitab ini lebih menekankan pada arti batiniah dan simbolis dari kurban. Upanishad merupakan kelanjutan dari Aranyaka. Seringkali Upanishad dikatakan penutup dari Weda, baik secara terminologis maupun kronologis. Itu sebabnya Upanishad seringkali disebut dengan Wedanta.
Metode dalam Upanishad adalah introspektif, dengan titik tolak pengalaman berpikir manusia dan fakta kesadaran manusia. Tema pokok Upanishad adalah hakekat keakuan dan hubungannya dengan kesadaran.
Tuhan, dalam Upanishad dilukiskan sebagai penguasa batin yang tak dapat mati atau sebagai benang yang melewati segala benda dan mengikat mereka bersama. Dialah kebenaran sentral dari eksistensi bernyawa dan tidak bernyawa, dan karenannya dia tidak hanya transenden tapi juga imanen. Daialah pencipta dunia, tetapi ia memunculkan dunia itu dari dirinya sendiri sebagai laba-laba yang membuat jaringan sarangnya (http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf).
Pada masa Upanishad ini, akhirnya filsafat India dapat dibagi menjadi 2, yaitu kelompok nastika, kelompok yang tidak mengakui otoritas Weda sebagai sumber tertinggi, dan kelompok astika, yang memiliki 6 ajaran filsafat yang disebut dengan Sad Dharsana. Ajaran Sad Dharsana inilah yang kemudian menjadi inti perkembangan filsafat India pada zaman Weda.
Secara etimologis, kata Dharsana berasal dari akar kata drś yang bermakna "melihat", menjadi kata dharśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan". Dalam ajaran filsafat hindu, Dharśana berarti pandangan tentang kebenaran. Jadi Sad Dharśana berarti Enam pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar dari Filsafat Hindu (http://id.wikipedia.org/wiki/adwaita wedanta)
Pokok-pokok ajaran Sad Dharśana, terdiri dari:
1.      Saṁkhya
Ajaran ini dibangun oleh Maharsi Kāpila, beliau yang menulis Saṁkhyasūtra. Di dalam sastra Bhagavatapurāna disebutkan nama Maharsi Kāpila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Saṁkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang di tulis oleh Īśvarakṛṣṇa. Ajaran Saṁkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Saṁkhya dalam sastra-sastra Śruti, Smrti, Itihasa dan Purana.
Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti

2.      Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Weda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan, yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran.
Kitab Yogasutra, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut: Kailvalyapada.

3.      Mimamsa
Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Weda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian pada bagian Weda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Weda.

4.      Nyaya
Ajaran Nyaya bersumber pada Nyayasutraditulis oleh Maharsi Aksapada Gautama, yang juga dikenal dengan nama Aksapada dan dirghatapas, pada abad 4 s.m. nyanya darsana secara umum juga dikenal sebagai tarka vada atau diskusi dan perdebatan tentang suatu darsana atau pandangan filsafat; karena nyanya mengandung tarka-vidya (ilmu perdebatan) dan vada-vidya (ilmu diskusi).  Objek utama dalam nyanya adalah perdebatan bahwa parameswara merupakan pencipta alam semesta. Nyanya menegakkan keberadaan isvara dengan cara penyimpulan, sehingga dikatakan bahwa nyanya darsana merupakan sebuah sastra yang merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu objek dengan penyimpulan yang tidak dapat dihindari.
Dalam penyimpulan kebenaran itu, nyanya darsana mendiskusikan melalui bantuan 4 cara pengamatan, yakni:
1.      Pratyaksa pramana atau pengamatan langsung
2.      Anumana pramanan atau melalui penyimpulan
3.      Upamana pramana atau melalui perbandingan
4.      Sabda pramana atau melalui penyaksian
5.      Vaisesika
System filsafat vaisesika mengambil nama dari kata visesa yang artinya kekhususan, yang merupakan cirri pembeda dari benda-benda. Ajaran Vaisesika dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun Vaisesika-sutra. Inti dari ajaran ini adalah padartha. Padartha secara harfiah berarti arti dari sebuah kata, tetapi disini padartha adalah suatu permasalahan benda dalam filsafat. Padartha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (pada). Semua hal yang ada, dapat dinamai dan di amati, yaitu semua objek pengalaman adalah padartha. Benda-benda majemuk saling tergantung, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas. Dalam vaisesika sutra, terdapat 6 buah padartha.:
1.      Dravya, yakni benda-benda atau substansi yang berjumlah 9 substansi, yaitu tanah (prthivi), air (apah), api (teja), udara (vayu), ether (akasa), waktu (kala), ruang (dis), roh (jiva), dan pikiran (manas.)
2.      Guna atau sifat-sifat jumlahnya 24, yaitu rupa atau warna, rasa, gandha (bau), sparsa (sentuhan), samkhya (jumlah), parimana (ukuran), prthaktva (keanekaragaman), samyoga (persekutuan), vibhaga (keterpisahan), paratva (keterpencilan), aparatva (kedekatan), gurutva (bobot), dravatva (keenceran), sneha (kekentalan), sabda (suara), buddhi (pemahaman/pengetahuan), sukha (kesenangan), dukha (penderitaan), iccha (kehendak), dvesa (kebencian), prayatna (usaha), dharma (kebajikan), adharma (kekurangan), samskara (sifat pembiakan sendiri.)
3.      Karma atau kegiatan yang terkandung dalam gerakan jenisnya ada 5 buah, utksepana (gerakan ke atas), avaksepana (gerakan ke bawah), a-kuncana (gerakan membengkok), prasarana (gerakan mengembang), gamana (gerakan menjauh atau mendekat).
4.      Samaya bersifat umum menyangkut 2 permasalahan, yaitu sifat umum lebih tinggi dan lebih rendah; jenis kelamin dan spesies.
5.      Visesa atau kekhususan yang merupakan milik 9 substansi abadi dari dravya, yang kesemuanya memiliki perbedaan akhir yang kekal, yang membedakan yang satu dengan yang lainnya. Inilah yang menyebutkan system darsana ini disebut dengan vaisesika darsana.
6.      Samavaya, keterpaduan satu jenis, yakni keterpaduan antara substansi dengan sifatnya, antara jenis kelamin atau spesies dengan pribadinya, antara sesuatu objek dengan pemikiran umum yang berhubungan dengannnya dan yang dipikirkan menjadi satu kesatuan nyata.
Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya.

6.      Wedanta
Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanishad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana. (http://id.wikipedia.org/wiki/adwaita wedanta)
Ada banyak system yang berkembang dalam Wedanta, yang bersifat realis, pluralis, monoistis dan idealis. Kesemua system itu menerima Brahman sebagai realitas tertinggi. Adapun beberapa bagian dari Wedanta:
a)      Sankara, adalah system nondualistis, menurut Sankara, Atman sama dengan Brahman, yakni esensi subjektivitas yang bersatu dengan esensi dunia. Dunia seluruhnya tergantung pada Brahman, tetapi Brahman tidak tergantung pada dunia. Brahman adalah dasar seluruh pengalaman, ia tidak sama dengan dunia, tidak berbeda dengan dunia, tidak empiris, tidak objektif, bukan tidak ada, sangat berbeda dari yang lain. Moksa atau pembebasan diri dicapai dengan praktek devosi dan mewudjudkan nilai-nilai etis. Ini dicapai selama orang hidup.
b)      Ramanuja, menekankan perbedaan dalam non dualisme Sankara. Dunia Diri, Brahman itu riil, tapi dunia dan diri tergantung pada Brahman. Diri memiliki eksistemsi abadi, dunia atau materi diri dan Brahman membentuk satu kesatuan, tetapi diri dan dunia hanya sebagai tubuh Brahman. Diluar Brahman tidak ada apa-apa. Itu sebabnya Ramanuja disebut nondualisme dengan perbedaan yakni Brahman memiliki dua bentuk, diri dan materi.setinggi apaun manusia merealisasikan diri, Brahman masih lebih tinggi. Manusia harus selalu menghormati Brahman, itulah sebabnya Ramanuja menekankan aspek kebaktian pada Brahman.
c)      Madhava, aliran yang mengajarkan bahwa dunia dan diri adalah realitas yang independen. Brahman merupakan eksistensi yang abadi, tapi dunia dan diri bergantung pada Brahman.
d)     Pasupata, Sakti dan Pancarata, ketiganya merupakan sekte yang berlawanan dengan Weda. Dalam sistem pancarata, Wisnu sama dengan Brahman, tapi atribut-atributnya tak dapat menampakakan diri tanpa sakti yang dinamakan laksmi. Sakti ini memiliki aspek yaitu aktivitas dan menjadi (activity and becoming).
Bila sakti itu aktif, keenam atribut Wisnu memanifestasikan diri dalam pengetahuan, ke-Tuhanan, kemampuan, kekuatan, keperkasaan, dan kemuliaan.
Dalam sistem Pasupata (siwa). Siwa, sama dengan Brahman dalam Upanishad. Hakekatnya adalah “aku murni”, tanpa atribut, tanpa keterangan, kesadaran murni (http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf).

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More