jatiluwih

jatiluwih

Selasa, 09 Agustus 2011

Teori Kritis di Bali


Teori kritis Max Horkheimer, tidak bisa dilepaskan dari Adarnno, karena mereka berdua berkolaborasisejak akhir 1930-an, baik secara geografismaupun intelektual.Itu terjadi ketika Adorno diundang untuk bergabung dalam IFS di New York pada1937.
Adorno dan Horkheimer mencapai puncak kebersamaan mereka ketika Dialectic of Enlightenment. Meski lahir dari konteks langsung atas bangkitnya fasisme danpenolakan terhadap potensi revolusioner proletariat sebagai motor perobahan sosial, Dialectic of Enlightenment menempatkan perkembangan ini dalam narasi trans-historisyang berjalan dari era Yunani kuno hingga abad kedua puluh.
Objek kunci analisis Adorno dan Horkheimer adalah 'enlightenment' alias 'pencerahan'.Beda denganpenggunaan secara umum, konsep 'enlightenment', bagi Adorno dan Horkheimer, memiliki maknasangat spesifik yang hanya sebagian terkait pada para pemikir seperti Descartes dan Kant.Secarakonvensional, dalam menghitung ulang pemikiran politik Barat, enlightenment lebih merujuk padaperiode sejarah abad kedelapanbelas dan pada kemajuan dalam pengetahuan dan pemikiran rasionalyang menghalau takhayul kuno. Namun, Adorno dan Horkheimer justru berusaha mengajukan 'duatesis' yang tampaknya sama sekali keluar dari penafsiran konvensional: bahwa 'mitos adalah sudahmenjadi pencerahan; dan pencerahan kembali ke asalnya yakni ke Mitologi'. Di jantung penghitungan Adorno dan Horkheimer adalah konsepsi tentang perjuangan manusia denganalam.Manusia telah terus-menerus terlibat dalam upaya melindungi diri dari kekuatan elemental alamdan telah, dalam prosesnya, mendasarkan eksistensi mereka pada percobaan dominasi terhadap alam.Akibatnya, pencapaian pengetahuan telah diprioritaskan sebagai dasar untuk pertahanan diri.'Mitosadalah sudah menjadi pencerahan' dalam arti bahwa mitos sudah berusaha diklasifikasikan dandikategorikan, yaitu, telah memiliki 'isi kognitif'.Adorno dan Horkheimer juga terlibat dalamupaya kritik budaya untuk menunjukkan bahwa, 'pencerahan kembali ke asalnya yakni ke mitologi'.Modernitas, yang menghargai hak-hak istimewa pada kemajuan teknologi dan rasionalitas sekuler (fituryang diidentifikasi Max Weber di bawah rubrik 'kekecewaan'), sering menggabungkan ingatan terhadapcita-cita mitos dan transendental. Ideologi Nazi, misalnya, menggabungkan elemen-elemen modern(tingginya teknologi modern dan industrialisasi) dengan elemen-elemen kuno dan mitologi (sepertipanggilan menuju mitologi bangsa Arya di masa lalu). Adorno dan Horkheimer berpendapat lebihumum bahwa instrumen modernitas yang konon bebas-nilai (seperti ilmu pengetahuan dan teknologimodern) sebenarnya secara rutin sudah terikat dengan sistem ideologis, dan ini adalah karaktermodernitas meski ada pretensinya yang bertentangan.Langkah menuju masyarakat yang tersanitasi danterkelola dalam skala besar jelas-jelas menolak dan menekan hal-hal irasional, yang menyebabkanletusan kekerasan lebih besar, seperti yang diilustrasikan tentang kamp-kamp kematian Nazi jermandengan bentuk industrialisasi pembunuhan massal. Demikian juga, Hollywoodmenggabungkan teknologi dan teknik-teknik film modern dengan romantisisme, dengan sekadarmengganti yang irasional dengan apa yang Adorno dan Horkheimer pandang sebagai pelarian kekanakkanakan,namun tetap dengan efek menciptakan audiens massal yang patuh dan pasif. Budaya, yang pernah bisa memungkinkan adanya unsurkebebasan dan kreativitas individu, telah –melalui difusi massa film dan radio– menjadi 'IndustriBudaya' lengkap dengan “kultus selebriti (bintang-bintang film) yang memiliki mekanisme sosial builtinuntuk menurunkan derajad setiap orang yang menghambat dalam cara apa pun”.Kedua fenomena tersebut, bagi Adorno dan Horkheimer, adalah sangat pas dengan dengan lintasanumum enlightenment, di mana akal sehat pada akhirnya digunakan untuk mendominasi (apa yangAdorno dan Horkheimer istilahkan dengan 'instrumental reason'). Pengetahuan tentang dunia alam dandunia sosial, serta teknologi dan teknik yang dikembangkan dari situ, lebih digunakan untukmengontrol dan mengeksploitasi –bukannya membebaskan– manusia, seperti yang terwujud dalamsistem produksi kapitalis.Teknologi pada gilirannya mendorongkecenderungan untuk lebih memperlakukan manusia sebagai sarana (dan dengan demikian menjadisuatu komoditi) daripada sebagai tujuan.Ini adalah inti dari instrumental reason, yang telah menjadibentuk dominan dari rasionalitas. Jauh dari sekadar cerita tentang kemajuan manusia, karena ituenlightenment adalah juga proses dominasi: dominasi eksternal alam oleh manusia, dominasi internalkondisi manusia itu sendiri, dan dominasi beberapa manusia terhadap manusia lain. “Runtuhnyamanusia dan kemanusiaan...,” begitu diprediksi Adorno dan Horkheimer, “...tidak akan dapatdipisahkan dari perkembangan sosial ... perkembangan untuk menjadi regresi” .Temaini –bahwa rasionalisasi, produksi massal, dan lambang lain yang sering diasumsikan sebagai kemajuan yang sebenarnya justru mengarah ke barbarisme– adalah salah satu hal yang tetap konstan dalam karyakaryaAdorno.Dalam beberapa hal, Dialectic of Enlightenment tetap setia pada unsur-unsur yang sebelumnyamendukung Teori Kritis. Dalam hal penghitungan kemajuan manusia yang tampaknya pesimis ini,masih ada unsur immanent critique: Penalaran, yang dipandang sebagai alat pencerahan, digunakanuntuk mengkritik enlightenment itu sendiri dan menggambarkan bahwa 'kemerdekaan sosial tidak bisadipisahkan dari fikiran yang tercerahkan' tapi enlightenment itu secara bersamaan juga berisi 'benih'bagi pembalikan diri sendiri.
Sebagai contoh di Bali, Dialectic of Enlightment, saangat terlihat pada konsep otonomi daerah.Otonomi daerah pada awalnya adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk lebih mensejahterakan masyarakat daerah, dengan memberikan keleluasaan daerah untuk mengembangkan dirinya masing-masing, sesuai dengan lingkungan alam dan karaktristik masyarakat setempat.
Konsep otonomi daerah di Bali sendiri menggabungkan dua elemen, yakni elemen modern (sains, pengetahuan ilmiah dan teknologi) dengan elemen, elemen yang sifatnya “ideologi tradisional” (Tri Hita Karana, konsep Desa Pekraman, Rwa Bhineda). Akan tetapi pada kenyataannya, otonomi daerah di Bali yang menggabungkan kedua elemen tersebut tidak menjadikan masyarakat Bali sejahtera seperti yang diinginkan, akan tetapi malah membentuk raja-raja kecil baru (bupati) yang memeras masyarakatnya secara massive. Apa yang dicita-citakan sebelumnya yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali menjadi tidak terbukti. Masyarakat hanya berpindah tempat, keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau.
Elemen modern (sains, pengetahuan ilmiah dan teknologi) yang seharusnya menjadi sumbu utama yang pergerakan kesejahteraan masyarakat malah menjadi boomerang yang menghambat kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.Pengetahuan penguasaan alam misalnya, malah dipergunakan untuk pemanfaatan alam yang sebesar-besarnya demi keuntungan sebesar-besarnya beberapa pihak bukannya pemanfaatan secara efektif, efisien demi kesejahteraan rakyat.Dalam beberapa kasus, elemen modern malah kemudian terbukti bertentangan dengan local genius setempat (elemen tradisonal).Pembangunan pariwisata di Bali misalnya, seringkali tanpa mengindahkan konsep Tri Hita Karana yang menjadi sendi kehidupan orang Bali.Pengurukan pantai serangan, Proyek Bali Nirwana Resort hanya sebagian kecil contoh, dimana modernisme membunuh ideologi masyarakat setempat (baca:Tri Hita Karana). Kesejahteraan masyarakat hanya menjadi slogan semu yang dimiliki oleh penguasa ideologi modern.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More