Berdasarkan pada konstruksi sosial yang demikian, maka fokus penelitian gender selama ini, selalu saja berfokus pada diskriminasi perempuan, marginalisasi perempuan, budaya patriarkhi, maupun hegemoni laki-laki terhadap perempuan.
Akan tetapi jika ingin melihat persoalan gender secara lebih berimbang, tentu saja, kita perlu mengkaji apa sesungguhnya yang ada di "kepala" laki-laki tentang soal yang klasik ini. Dengan perkataan lain semestinya diperlukan perhatian yang lebih serius tentang isu-isu gender pada laki-laki, bukan hanya mendekati dari sisi perempuan.
Melihat definisi gender sendiri bahwa sesungguhnya gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya, misalnya adanya anggapan bahwa wanita mempunyai sifat lemah lembut, emosional dan keibuan, sedangkan pria bersifat kuat, rasional, jantan, dan perkasa (Fakih,1996). Menurut Fakih, konsep gender berbeda dengan kata seks (jenis kelamin), karena seks adalah pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Perbedaan gender antara manusia dengan jenis kelamin pria dan wanita terjadi melalui proses yang panjang yaitu proses pembentukan perbedaan-perbedaan gender dengan banyak hal yang diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksikan sesuai dengan segi sosial dan budaya melalui ajaran keagamaan maupun hukum negara. Melalui proses yang panjang tersebut, akhirnya sosialisasi gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang bersifat biologis dan tidak dapat diganggu gugat ataupun dipertukarkan lagi. Perbedaan gender kemudian dipahami dan dianggap sebagai kodrat pria dan kodrat wanita (Fakih, 1996:8-9)
Pengertian tentang gender juga dapat diartikan sebagai seperangkat peran yang dimainkan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang itu adalah feminin atau maskulin. Penampilan, sikap, sifat, tanggung jawab dalam keluarga dan sebagainya adalah perilaku-perilaku yang akan membentuk peranan gender. Peranan gender ini akan terus berubah seiring berjalannya waktu dan mengalami perkembangan yang berbeda di dalam satu budaya dengan budaya yang lain. Peran ini juga dapat disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat, perbedaan usia, dan latar belakang suku budaya.
Peranan itu sendiri (role) menurut Gross, Mason dan McEachern bisa diartikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peran itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat. Maksudnya orang yang diberi peran itu diharapkan melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaan, dalam keluarga dan dalam peranan-peranan yang lain (dalam Berry, 2003:105-106).
Peranan laki-laki dalam konstruksi sosial masyarakat tidak bisa dilepaskan dari sebuah status yang melekat dalam diri laki-laki tersebut. Status sendiri diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Peranan laki-laki, sesuai dengan konstruksi gender yang berlaku di masyarakat merupakan sebuah status yang diberikan oleh masyarakat atau assigned-status. Hal ini terjadi karena masyarakat, sebagai pemberi peran mengharapkan laki-laki sebagai seseorang yang mampu mengayomi keluarga, pemberi nafkah, dan sebagai pemimpin. Sebaliknya terjadi pada perempuan, yang diharapkan masyarakat sebagai seorang pengasuh anak, ibu rumah tangga dan pelayan suami yang baik.
Perspektif gender yang demikian menjadikan seorang laki-laki harus menjadi seorang yang kuat, pemimpin keluarga, mapan, maskulin, yang tanpa disadari perspektif gender tersebut merupakan sebuah diskriminasi terhadap laki-laki. Peran gender bagi pria kemudian dilihat bukan sebagai pembawaan biologis tetapi sebagai bangunan sosial yang tercipta dari harapan dari kekuatan sosial seperti orangtua, para guru, rekan sejawat dan media tentang apa yang membentuk kemaskulinan {(Pleck, 1995) Mahalik 1998}. Karena pengalaman sosialisasi pria diteorikan untuk menciptakan perasaan negatif seperti kegelisahan dan rasa malu adalah hal yang bersifat feminis, perkembangan peran pria tradisional atau konflik peran gender pria {(O’Neil, Helms, Gable, David, & Wrightsman, 1986) Mahalik 1998}. Melihat sosialisasi sisi emosional pria dari kerangka paradigma peran gender, banyak remaja pria yang merasa perlu memblokir perasaan mereka dan membatasi ekspresi kerentanan serta rasa perduli mereka {(Levant) Mahalik 1998}.Oleh sebab itu, pria menghadapi beberapa aspek dirinya yang dia anggap feminin dengan konflik dan kegelisahan yang tinggi karena dia percaya hal tersebut mengancam sisi kelelakiannya" (Mahalik, Cournoyer, Defranc, Cherry, and Napolitano 1998).
Hasil dari rasa takut akan sisi feminin ini, para pria dipercaya terlampau mematuhi peran pria tradisional sebagai strategi untuk menghindar dari feminitas tadi {(Pleck, 1995) Mahalik1998}. Pria diajarkan untuk menggunakan peran mereka yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai pertahanan psikologis. Ketika seorang pria dikonfrontasikan dengan sebuah situasi, daripada terlibat dengan masalah tersebut, mereka cenderung berbalik ke stereotip peran gender maskulin. Pria menyimpan emosi mereka dalam-dalam dan walaupun tidak dengan segera mempengaruhi kesehatan, dalam jangka panjang bisa membuat pria menderita. Hal ini memberi dampak kepada para pria di semua tingkat sosial, ekonomi, ras dan budaya. Sosialisasi yang salah akan peran pria adalah topik yang menarik untuk diteliti dan dipelajari karena ini memberi dampak kepada seluruh populasi pria dan ini akan membantu masyarakat sebagai satu kesatuan menyelesaikan masalah gender. Satu cara untuk mulai merubah sosialisasi pria ini adalah menyadarkan masyarakat akan efek psikologis dari 'konflik peran gender'.
2.2 Perubahan status dan peran laki-laki
Wacana gender yang sudah cukup lama terdengar telah membuat peran laki-laki dan perempuan dalam tatanan sosial menjadi sedikit berbeda. Perempuan yang sebelumnya hanya berkutat di ranah peran domestik (pekerjaan rumah tangga) kini juga memasuki pekerjaan di ranah publik (bekerja di luar rumah). Dalam hal ini perempuan mulai dapat menghidupi keluarga, menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga. Meski masih dianggap sebagai the second salary (pendapatan tambahan bukan sebagai pencari nafkah utama) sesungguhnya bukan hal yang susah untuk menemukan perempuan berpenghasilan lebih tinggi daripada suaminya. Sedangkan dari pihak laki-laki tetap identik dengan pekerjaan pokoknya yaitu di ranah publik, bekerja di luar rumah. Perempuan meskipun sudah bekerja menghasilkan pendapatan, namun masih juga diberi tanggungjawab untuk mengurus rumah tangga.
Dengan bermunculannya gerakan-gerakan serta kajian-kajian wanita, memberikan kesempatan bagi wanita untuk bisa tampil di dunia yang secara tradisional dianggap dunia pria. Berubahnya peran-peran wanita ini, seharusnya membawa konsekwensi berubah pula peran-peran pria, sekaligus tatanan sosial yang ada (Nauly, 2002: 2). Perempuan yang notabene dikatakan lebih lemah daripada kaum laki-laki nyatanya sudah bisa membagi dirinya antara bekerja di luar rumah dan mengurus rumah tangga (anak dan suami). Seharusnya jika dilihat dari sisi keadilan, seorang laki-laki atau suami dalam hal ini juga harus bisa membagi waktunya untuk mengurus rumah tangga. Kenyataan yang ada saat ini masih banyak istri-istri yang dibebankan dengan dua tugas tadi. Setelah pulang kerja mereka masih harus mengurus anak, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dan melayani suami. Seharusnya suami bisa membantu dengan juga ikut berperan dalam mengurus anak dan mengerjakan tugas rumag tangga karena sudah tidak ada lagi pemisahan antara tugas laki-laki dan perempuan. Keduanya harus saling membantu satu sama lain. Beberapa laki-laki yang telah menyadari tentang peran gender biasanya dikalahkan dengan rasa khawatir atau malu jika dia melakukan pekerjaan yang identik dengan perempuan, maka akan dikatakan banci atau yang sekarang sering disebut dengan ISTI (ikatan suami takut istri). Memang sangat susah untuk mengubah pandangan masyarakat yang telah berkembang sekian lama dan bahkan didukung oleh adat budaya, norma serta dalil-dalil agama. Di sinilah peran budaya sangat diperlukan untuk mengubah paradigma yang telah berkembang di masyarakat selama ini. Menurut Frieze (1978), peran budaya pada perkembangan peran gender, dimulai dengan peran yang mendikte pengkategorisasian dan penggeneralisasian dalam proses kognitif seorang anak. Selanjutnya melalui berbagai alternatif, model budaya juga menyediakan suatu daya dorong dalam perubahan skemata kognitif seseorang.
Budaya yang dikenal seorang anak dari kecil hingga dewasa juga akan sangat mempengaruhi perkembangan mental dan psikis seorang anak. Misalnya seorang anak yang di dalam keluarganya telah terjadi pengkategorisasian peran atau pekerjaan antara ayah dan ibunya, dimana si anak selalu dimandikan atau disuapi makan oleh ibunya, sementara sang ayah hanya minum kopi dan membaca koran di luar jam kerja. Hal-hal seperti inilah yang membuat si anak seolah-olah telah terdoktrinasi sejak kecil mengenai perbedaan yang signifikan antara peran laki-laki dan perempuan yang tercermin dari perilaku kedua orang tuanya. Lingkungan asuh yang seperti inilah yang perlu dirubah agar anak dapat mengerti dan tidak membeda-bedakan peran laki-laki dan perempuan. Orang tua harus saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga termasuk juga mengasuh anak karena seorang wanita sekarang tidak hanya bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, tetapi wanita juga mampu mencari nafkah untuk keluarga. Disinilah definisi ayah sebagai orang tua perlu lebih ditekankan. Menurut Nauly (2002 :11)
Peranan ayah sebagai pengasuh yang aktif merupakan hal yang penting untuk mendefenisikan kembali norma-norma maskulin. Dengan semakin banyaknya wanita yang memasuki dunia kerja (termasuk di Indonesia), wanita telah diasumsikan dengan peran pencari nafkah. Sehingga banyak dari karakteristik-karakteristik, yang tadinya secara eksklusif dikaitkan dengan pria seperti ambisi, asertif, dan kompeten di dunia publik, kini dalam proses yang diterima sebagai bagian dari peran gender feminin. Bila kedekatan emosi, pengasuh, ditempatkan sebagai bagian penting dari pendefenisian kembali maskulin, maka gambaran peran gender pria dan wanita menjadi tumpang tindih. Sosialisasi peran gender dalam hal ini ditransformasikan dari suatu proses yang restrictive (penuh tekanan) dan ketegangan menjadi lebih fleksibel dan lebih mengembangkan diri pria dan wanita.
Sosialisasi anak laki-laki pun harus dirubah. Dia tidak lagi bisa lepas begitu saja dari tugas rumah tangga. Anak laki-laki tidak lagi identik dengan geng, kelompok-kelompok remaja yang identik dengan kekerasan. Aktivitas-aktivitas dengan tema kepedulian dan pengasuhan bisa dimunculkan, sehingga dapat ditransformasikan bahwa peduli dan pengasuh adalah bagian dari untuk menjadi 'pria sebenarnya'. Anak laki-laki tidak seharusnya dibebaskan dari tugas rumah tangga berbeda dengan saudara perempuannya. Tidak ada lagi pertanyaan anak perempuan kepada ibunya “Mengapa kakak (laki-laki) boleh bangun siang sedangkan aku tidak?” dijawab dengan “Iya, kakakmu kan laki-laki”.
Sebagai salah satu unsur dalam budaya, pendidikan juga perlu dikaji ulang, misalnya terhadap buku-buku pelajaran sebab di ranah ini pun anak-anak sudah di arahkan ke pembedaan peran laki-laki dan perempuan. Cerita-cerita yang termuat dalam buku pelajaran anak SD banyak yang mengandung isu-isu gender. Misalnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia dimana sering kita jumpai kalimat: “Ibu memasak di dapur” atau “Ayah bekerja di kantor”. Bahkan saat ini dimana isu kesetaraan gender sering digembar-gemborkan, belum juga pernah ditemui kalimat yang bermuatan kesetaraan gender misalnya “Ibu berangkat ke kantor” atau “Ayah mencuci piring”.