jatiluwih

jatiluwih

Rabu, 15 Juni 2011

kerajaan bali

KERAJAAN BALI
Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya pengaruh agama Hindu ke Indonesia. Hal ini dapat diperoleh dari keterangan-keterangan batu bertulis yang terdapat di Kutai dan Jawa Barat. Tulisan yang dipakai adalah Palawa dengan bahasa Sansekerta.
Bali, berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan memasuki zaman sejarah pada abad ke-8. Ini dibuktikan dengan dibuktikannya batu bertulis yang berangka tahun 804 saka (882 masehi) tetapi sayang prasasti ini tidak menyebutkan nama raja. Selain prasasti juga ditemukan beberapa cap-cap kecil yang terbuat dari tanah liat yang disimpan dalam stupa-stupa kecil dari tanah liat juga. Pada cap-cap itu tertulis suatu mantra Budha yang termashur, yang diduga berasal daria abad ke-8.
Dari keterangan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa periode sejarah kerajaan Bali antara abad ke-8 sampai abad 14 dengan datangnya Gajah Mada dari Majapahit yang kemudian mengalahkan Bali.
Nama Balidwipa bukanlah nama yang abru, tetapi nama yang sejak dahulu ada. Hal ini dapat kita ketahui dari bebrapa prasasti, diantaranya prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh raja Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 masehi yang menyebutkan kata Walidwipa. Demikian juga prasasti-prasasti raja Jayapangus, seperti prtasasti Buwahan D, prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 masehi menyebutkan bahwa baginda sebagai maharaja adalah bagaikan peneduh atau pelindung dunia diseluruh wilayah pulau Bali.
Pada zaman kerajaan Bali wilayah Bali dipimpin oleh raja-raja yang sekarang dikenal oleh orang-orang Bali Aga. raja-raja di Bali dapat dikelompokkan menjadi 2 dinasti yaitu dinasti Singhamandawa dan dinasti Warmadewa.

1. Zaman Dinasti Singhamandawa
Kehadiran dinasti ini di Bali diketahui dari beberapa buah prasasti yang berangka tahun 882 masehi, 896 masehi, 891 masehi dan 911 masehi. Parasasti-prasasti ini menyebutkan adanya pusat pemerintahan di Singhamandawa. Dalam prasasti yang berangka tahun 882 masehi disebutkan pemberian izin kep[ada beberapa bhiksu yang akan membangun partapaan dan pesanggrahan di tampat perburuan Cintamani. Selain itu disebutkan beberapa orang pejabat tinggi pemerintah seperti Senapati Sarbwa, Dinganga, Danda dan beberapa pejabat rendahan. Dari prasasti 891 masehimenyebutkan pemberian izin kepada penduduk desa Turunyan (sekarang Trunyan) untuk membangun kuil bagi Bhatara Da-Tonta.

2. Zaman Dinasti Warmadewa

1. Raja Sri Kesari Warmadewa
Dalam kitab kuna Raja Purana diketahui bahwa ada seorang raja Bali yang memerintah yang bernama Sri Kesari Warmadewa. Dikatakan bahwa beliau memerintah disekitar Pura Besakih. Baginda amat tekun beribadat memuja dewa-dewa yang bersemayam di Gunung Agung. Beliau memperluas Pura Penataran Agung di Besakih yuang ketika itu masih sangat sederhana. Untuk melengkapi Pura Penataran Agung, maka beliau mendirikan pura-pura disekitar pura penataran Agung , yang diberi nama:
a. Pura Gelap untuk memuja Dewa Iswara.
b. Pura Kiduling Kreteg untuk memuja Dewa Brahma.
c. Pura Ulun Kulkul untuk memuja Dewa Mahadewa.
d. Pura Batu Madeg untuk memuja Dewa Wisnu.
e. Pura Dalem Puri untuk memuja Dewi Durga.
f. Pura Basukian untuk memuja Naga Basukian.
Selanjutnya dikatakan beliau juga memerintahkan agar perayaan nyepi tiap-tiap tahun harus dilakukan pada bulan Kasanga yang disebut caitra-masa.

2. Sang Ratu Sri Ugrasena
Berdasarkan bukti 9 buah prasasti yang sudah ditemukan beliau memerintah pada tahun 915-942 masehi, sedangkan di Jawa Timur yang memerintah adalah raja Sindok tahun 929-947 Masehi.

3. Raja Chandrabhaya Singa Warmadewa
Mengenai raja ini hanya diketemukan sebuah prasasti batu yang keadaannya sangat rusak. Prasasti ini disimpan di Pura Sakenan Desa Manukaya sebelah utara desa Tampaksiring yang berangka tahun 960 masehi, isinya menyebutkan peristiwa pembuatan tirta di Air Hampul (Tirta Empul sekarang) didesa Manuk raya (sekarang desa Manukaya). Sampai sekarang tirta itu dipandang suci dan prasasti batu yang tersimpan diPura Sakenan sewaktu-waktu disucikan di Tirta empul. Demikian juga pada hari raya Galungan banyak barong yang disucikan di Tirta Empul.

4. Raja Dharma Udayana Warmadewa beserta permaisuri Gunapriya Dharmapatni
Raja ini merupakan keturunan raja Sri Kesari Warmadewa yang dilahirkan di Bali, yang kemudian kawin dengan putrid Mahendradatta dari Jawa Timur sebagai cucu raja Empu Sindok. Kedua raja ini naik tahta kerajaan kira-kira tahun 989-1001 masehi.
Perkawinan Gunapriya Dharmapatni dengan baginda raja Dharma Udayana ternyata banyak membawa perubahan di Bali. Perubahan itu terjadi didalam struktur pemerintahan yang kemudian berpengaruh pula dalam bidang kebudayaan. Semenjak itulah bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi) dipergunakan dalam pembuatan prasasti-prasasti dimana sebelumnya mempergunakan bahasa Bali Kuna.
Dari perkawinan ini dilahirkan beberapa anak diantaranya Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu.Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 922 saka atau 1000 masehi. Ia kemudian dibawa ke Jawa Timur untuk menikah dengan putrid Dharmawangsa yang masih kemenakan ibunya. Ketika itu Airlangga kira-kira berumur 16 tahun.
Setelah mangkat Gunapriya dicandikan di Pura Bukit Dharma Kutri desa Buruwan Bali dalam wujud yang menggambarkan arca Durgamahisasuramardini. Sedangkan raja Udayana setelah wafat dicandikan di Banu-wka. Dimana letak pasti dari Banu-wka ini tidak dapat diketahui secara pasti. Tetapi menurut Dr. R. Goris daerah ini terletak di Candi Gunung Kawi yang terdapat di desa Tampaksiring.
Raja ini mempunyai senapati yang sangat dipercaya yaitu senapati Kuturan yang namnya sangat sering disebut didalam prasasti yang kini disimpan dibeberapa desa di Bali. Raja mengundang senapati Kuturan untuk menertibkan kemasyarakatan penduduk di Bali.
Untuk menertibkan dan menegakkan sendi-sendi agama/kemasyarakatan di Bali, senapati segera mengadakan pertemuan besar dihadiri oleh para pemuka masyarakat serta pendeta Siwa-Budha. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa paham Tri Murti harus ditegakkan kembali. Maka semenjak itu terciptalah pura Khayangan Tiga, yakni tiga buah pura yang masing-masing disebut:
1) Pura Desa yang disebut juga Pura Balai Agung untuk memuja Dewa Brahma sebagai Dewa pencipta.
2) Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu sebagai Dewa pemelihara.
3) Pura Dalem untuk memuja Dewa Siwa sebagai Dewa pelebur.
Pura Khayangan Tiga didirikan di tiap-tiap desa di Bali, yang menjadi dasar kekuatan desa pakraman di Bali yang berintikan pada adat istiadat dan agama.
Tiap-tiap orang yang sudah menjadi kepala keluarga diwajibkan turut makrama desa serta mendapat sebidang tanah untuk pekarangan, sawah ladang dan tiap pekarangan rumah pada bagian hulunya didirikan tempat peribadatan yang disebut sanggah atau pemrajan, sebagai tempat memuja arwah leluhur yang dianggap suci dan sudah bersatu dengan dewa.
Disamping mengatur bidang keagamaan Empu Kuturan juga mengarang kitab-kitab suci diantaranya beberapa yang terkenal: Purana Tattwa, Dewa Tattwa yang memuat sejarah para pendeta dan dewa-dewa, sedang Widhi Sastra memuat pelajaran bagaimana cara memuja dewa-dewa. Juga kitab suci Kusumadewa yang mula-mula dikarang oleh Sang Kul Putih yang kemudian disempurnakan oleh Empu kuturan.

5. Raja Marakata
Setelah raja Dharma Udayana wafat beliau digantikan oleh putranya Marakata saudara muda dari Airlangga. Dalam prasasti nama lengkapnya adalah Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa. Raja yang oleh rakyatnya dipandang sebagai sumber kebenaran hokum yang selalu melindungi nasib rakyatnya. Ia selalu memperhatikan rakyatnya dimana-mana.

6. Raja Anak Wungsu
Raja ini mengantikan raja Anak Wungsu dan merupakan anak bungsu dari raja Dharma Udayana. Diantara raja-raja Bali, raja Anak Wungsu merupakan raja yang paling aktif dalam mengabdikan peristiwa-peristiwa yang ada dizamannya. Tidak kurang dari 28 buah prasasti dari raja Anak Wungsu berhasil ditemukan, ditambah lagi dengan beberapa prasasti singkat lainnya yang terdapat di Gunung Kawi, Gunung Penulisan. Ia memerintah dari tahun 1049-1077 masehi. Didalam prasasti disebutkan bahwa ia adalah seorang raja yang penuh belas kasihan dan dianggap penjelmaan dari dewa kebajikan. Setelah wafat ia dicandikan di Gunung Kawi desa Tampaksiring.



7. Sri Maharaja Sri Walaprabu
Raja ini memerintah setelah pemerintahan raja Anak Wungsu. Ia meninggalkan 3 buah prasasti, namun tidak satupun prasasti itu yang berangka tahun.

8. Sri Maharaja Sri Sakalendukirana
Dari raja ini tidak didapat keterangan yang begitu jelas kecuali 2 buah prasasti yang berangka tahun 1023 saka.

9. Sri Suradhipa
Ia memerintah dari tahun 1037-1041 saka.

10. Sri Jayasakti
Raja ini meninggalkan prasasti sebanyak 15 buah. Pada waktu raja ini memerintah diBali, di Jawa memerintah raja Jayabhaya. Sejak zaman ini di Bali mulailah era raja yang memerintah dengan menggunakan unsur Jaya (kemenangan) seperti halnya raja Jayabhaya di Kediri. Raja Jayasakti memerintah dari tahun 1133 -1177 masehi.

11. Sri Jayapangus
Jumlah prasasti yang dikeluarkan raja ini berjumlah 39 buah. Akan tetapi yang mengherankan adalah semua prasastinya dikeluarkan pada tahun 1181 masehi. Satu-satunya yang berbeda adalah prasasti Mantring A yang berangka tahun 1177 masehi.

12. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten
Pada tahun 1337 masehi dinobatkan raja di Bali yang bergelar Astasura Ratna Bhumi Banten. Perkataan Bumi Banten menunjukkan daerah dimana beliau memerintah (banten diduga sama artinya dengan Bali). Sebuah arca yang terdapat di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan adalah melembangkan raja Astasura ketika berkuasa di Bali. Arca padas itu pada punggungnya tertulis mata, kapak, segara atau gunung yang merupakan tahun candrasangkala Isaka 1254 (1332 masehi), merupakan raja Bali Kuna terakhir.
Sehubungan dengan raja Astasura ini selanjutnya kitab kuna yang bernama “Usana Jawa” menerangkan bahwa raja Astasura juga bergelar Gajah Waktra atau Sri Topulung serta berstana di Bedaulu. Cerita selanjutnya adalah baginda mempunyai 2 orang patih yang bernama Pasunggrigis dan Kebo Iwa. Pasunggrigis bertempat tinggal di desa Tengkulak, terkenal dengan keperwiraannya berperang, mahir dalam siasat bertempur disamping ahli dalam bidang pemerintahan. Sedangkan Kebo Iwa bertempat tinggal di desa Blahbatuh dan mahir dalam bidang seni bangunan dan rakyat kagum atas kekuatannya serta selama hidupnya ia membujang, sebab itu ia juga sering disebut dengan Kebo Taruna.
Pada waktu kerajaan Daha dikalahkan oleh Kertanegara, raja-raja Bali tidak mau tunduk kepada kerajaan Singasari sehingga Kertanegara terpaksa mengirim ekspedisi ke Bali tahun 1284 masehi. Sikap raja-raja ini kembali terulang ketika Daha (Jayakatwang) dikalahkan oleh Raden Wijaya.
Ketika Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit, ia memandang Bali menghalangi cita-citanya mempersatukan Nusantara dibawah Majapahit. Gajah Mada tahu bahwa kerajaan Bali memiliki seorang patih yang sangat kuat yaitu Kebo Iwa. Untuk dapat mengalahkan kerajaan Bali, maka Kebo Iwa harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itu Gajah Mada membawa surat ke Bali yang isinya seakan-akan Ratu Tribhuwana Tunggadewi menginginkan persahabatan dengan kerajaan Bali. Andaikata raja Bali sependapat dengan hal itu hendaknya ia mengirim Patih Kebo Iwa ke Majapahit yang akan dikawinkan dengan seorang putri cantik yang bernama Lemah Tulis sebagai tanda persahabatan. Raja Astasura Ratna Bhumi Banten sedikitpun tidak menduga ini sebagai tipuan. Berangkatlah Kebo Iwa ke Majapahit bersama Gajah Mada tanpa curiga. Disana ia dibunuh dengan tipu muslihat yang licik. Namun setelah Kebo Iwa meninggal belum ada juga tanda-tanda bahwa raja Bali akan menyerah. Berita kematian Kebo Iwa karena penipuan dijadikan bahan yang sangat baik untuk memupuk perasaan anti Majapahit. Pasunggrigis mengantikan Kebo Iwa mengorganisasikan pasukannya untuk melawan Majapahit.
Ketika diadakan rapat di Bedahulu membicarakan berita kematian Kebo Iwa seluruh yang hadir sepakat mempertahankan Bali tidak mau tunduk kepada Majapahit. Setelah itu Gajah Mada pun mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali. Terjadilah ekspedisi Gajah Mada 1343, dipimpin oleh Gajah Mada sendiri dengan panglima Arya Damar dan dibantu oleh beberapa orang Arya. Sesampainya di pantai Banyuwangi,tentara Majapahit berhenti untuk mengatur siasat perang. Dalam perundingan itu diputuskan Bali akan diserang dari empat penjuru yaitu:
1) Dari pantai timur sebelah timur Gunung Agung dibawah pimpinan Gajah Mada.
2) Dari perairan Bali Utara dibawah pimpinan Arya Damar.
3) Dari pantai selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng, Arya Sentong, Arya Belog, Arya Bletong, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan.
4) Dari pantai barat dilakukan oleh tentara-tentara Sunda.

Demikianlah kerajaan Bali dikepung dari segala sisi dan terjadilah pertempuran yang hebat. Pertempuran yang hebat itu meninggalkan korban di kedua belah pihak. Begitupun putra baginda yang bernama Pangeran Madatama meninggal dalam perang tersebut. Kehilangan putra yang sangat dicintainya membuat raja Bali Sri Astasura Ratna Bhumi Banten bersedih hati yang kemudian menyebabkan beliau meninggal dunia. Meskipun raja telah meninggal tidak berarti kerajaan Bali sudah jatuh. Sisa-sisa laskar dibawah pimpinan Pasunggrigis masih jauh lebih kuat dari tentara Majapahit. Gajah Mada tidak mampu melawanya, oleh sebab itu ia mempergunakan akalnya. Gajah Mada beserta pasukannya mengaku kalah. Melihat keadaan itu Pasunggrigis merasa sangat gembira dan mengajak supaya antara Majapahit dan kerajaan Bali bersahabat. Berselang beberapa hari kemudian Pasunggrigis mengadakan rapat besar dan mengundang pimpinan-pimpinan Majapahit karena tidak dianggap musuh lagi.
Acara terpenting dalam rapat itu adalah menetukan siapa yang akan menggantikan raja karena raja maupun putranya telah wafat. Gajah mada pura-pura mengusulkan agar Pasunggrigis saja yang menjadi raja. Dengan segala kerendahan hati serta insaf akan asal usulnya yang hina Pasunggrigis menolak tawaran tersebut. Jawaban inilah yang ditunggu oleh Gajah Mada. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gajah Mada untuk memerintahkan Pasunggrigis pergi menghadap raja di Majapahit dan menyatakan tunduk dengan membawa persembahan-persembahan.
Dengan ini berarti selesai sudah pemerintahan kerajaan Bali.

3. Sistem Pemerintahan, Agama, Sosial Ekonomi dan Budaya.

Dari uraian-uraian tersebut diatas telah dikemukakan beberapa nama raja pada zaman Bali Kuna yang bersumber pada beberapa prasasti yang telah ditemukan. Sudah tentu uraian diatas belum lengkap. Maka untuk melengkapi uraian diatas kami melengkapi dengan uraian mengenai keadaan pemerintahan, agama, social ekonomi dan budaya.

1. Sistem Pemerintahan
Mengenai susunan pemerintahan tidak banyak diketahui hanya beberapa raja yang meninggalkan susunan pemerintahan ketika ia memerintah diantaranya raja Udayana, Jayapangus, Jayasakti dan Anak Wungsu.
Dalam pemerintahan, raja dibantu oleh suatu badan penasehat pusat. Dalam prasasti 882 masehi-914 masehi badan ini disebut dengan istilah “penglapuan”. Sejak masa pemerintahan Udayana, badan pusat penasehat itu disebut dengan istilah “pakiran-kiran I jro makabaihan”. Badan ini beranggotakan:
a) Beberapa orang senapati, menurut Dr. Goris para senapati pada masa lampau dapat dibandingkan dengan para punggawa pada zaman gelgel. Jumlah senapati biasanya berjumlah 3 orang.
b) Pendeta Siwa dan Budha.
Golongan ini memiliki peranan yang penting dalam penyelesaian upacara agama, tetapi mereka juga dianggap memiliki kekuatan gaib (magis) yang dapat membantu serta menguatkan raja. Dalam prasasti-prasasti pendeta Siwa disebut dengan gelar Dang Acarya, golongan pendeta Budha dengan gelar Dang Upadhyaya.

2. Seni
Didalam prasasti-prasasti disebut-sebut ada beberapa macam seni yang ada pada saat itu. Pada zaman Anak Wungsu kita dapat membedakan seni menjadi 2 kelompok yang besar yakni seni keraton dan seni rakyat yang biasanya berkeliling menghibur rakyat. Istilah seni keraton disini bukan berarti seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertontonkan kepada rakyat di desa-desa, dengan kata lain seni jenis ini tidak hanya dimonopoli oleh kalangan istana saja. Keterangan mengenai hal tersebut terdapat dalam prasasti Julah yang berangka tahun 987 masehi yang mengatakan ada beberapa rombongan seni baik I haji (untuk raja) maupun ambaran (keliling) dating ke desa Julah dan mereka yang membawakan seni tersebut mendapat upah yang diistilahkan dengan patulak.
Jenis-jenis kesenian pada masa itu adalah patapukan (atapukan/ topeng), pamukul (penabuh gambelan), abanwal (permainan badut), abonjing (musik angklung), bhangin (peniup suling), perbwayang (wayang), dll.

3. Agama dan Kepercayaan
Dalam bidang agama pengaruh zaman prasejarah terutama dari zaman megalithikim masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititik beratkan pada pemujaan terhadap nenek moyang yang disimbolkan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut bangunan berundag-undag. Kadang-kadang diatas bangunan itu ditempatkan menhir yaitu tiang batu monolit sebagai simbol nenek moyang.
Pada zaman Hindu hal itu terlihat pada bnagunan Pura yang mirip dengan bangunan punden berundag-undag. Kepercayaan kepada dewa-dewa gunung,laut yang berasal dari zaman sebelum masuknya agama Hindu, tetap tercermin pada kehidupan masyarakat setelah masuknya agama Hindu. Bahkan sampai sekarang benda-benda dari zaman budaya megalithikum masih dipuja dan disimpan bersama-sama dengan patung-patung dewa-dewa Hindu. Keadaan ini membuktikan bahwa masyarakat Bali tidak mudah melepaskan hasil-hasil dari budaya masa lampau sebelum masa Hindu. Hanya kadang-kadang nama-nama dewa berubah namanya dengan nama baru yang diambil dari bahasa Sansekerta seperti bhatara Da-Tonta.
Pada masa permulaan tidak diketahui dengan pasti agama apa yang dianut pada masa itu. Baru pada masa pemerintahan raja Udayana dan permaisurinya ada dua aliran agama besar yang dianut oleh penduduk yaitu agama Siwa dan Agama Budha. Selain itu ada juga sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-dewa tertentu seoerti misalnya sekte Ganapatya (penyembah gana), sekte Sora (penyembah surya), dll.

4. Perekonomian Masyarakat
Pada umumnya masyarakat Bali ketika itu hidup dari bercocok tanam. Hal ini dapat diketahui dari berita-berita yang diperoleh dari prasasti-prasasti yang antara lain menyebut sawah, parlak (sawah kering), gaja (ladang), kebon, huma, kasuwakan (pengairan sawah).
Mengenai pengelolaan sawah pada khusunya mendapat perhatian yang besar dan dirawat sebaik-baiknya seperti halnya petani sekarang. Suatu system pengairan pembagian air untuk sawah yang sekarang disebut dengan istilah subak, pada zaman ini telah dikenal. Hal ini didasarkan pada prasasti Raja Purana yang tertanggal 1072 masehi. Didalam prasasti ini terdapat istilah kasuwakan, yang kemudian dipendekkan menjadi suwak atau subak. Menurut perkiraan system persubakan telah dikembangkan pada zaman raja Marakata.
Jenis tanaman yang dikenal pada masa itu adalah padi, kelapa, enau, keladi, bawang, kemiri, dll.

2 komentar:

terimakasih infonya.
apakah punya info yang lebih tentang desa-desa bali mula dan hubungannya dengan raja bali kuna

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More