jatiluwih

jatiluwih

Rabu, 15 Juni 2011

cara kerja hermeneutika


Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.
Hukum Betti tentang interpretasi”Sensus non est inferendus sed efferendus” makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir. Penagalam masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki.

“Lingkaran hermeneutik”:
Ini adalah istilah yang umum digunakan oleh para filsuf hermenetika untuk menunjuk pada
kenyataan adanya suatu sirkularitas dalam segala pengetahuan manusia: pengertian tentang
suatu teks itu diperoleh berkat suatu pra-pengertian (pengandaian). Singkatnya, untuk bisa
bertanya pun orang perlu tahu lebih dahulu. Menurut Heidegger, bila orang tak tahu apa yang
ia cari, maka ia juga tidak akan tahu bila ia menemukannya. Penafsir tak bisa lepas total dari
apa yang ditafsirkannya. Karena itu dalam kegiatan menafsirkan itu perlu dipikirkan juga
faktor-faktor yang berperan-serta dalam penafsiran.

Hermeneutika sebagai kegiatan menafsirkan:
1) Faktor-faktor yang mempengaruhi penafsiran:
Faktor-faktor yang turut berperan dalam penafsiran dapat diamati dari ketiga pihak yang
terlibat dalam kegiatan penafsiran suatu teks:
PENGARANG <------------> TEKS <------------> PEMBACA
(latar belakang (bahasa; (latar belakang
poleksosbud; jenis sastra; poleksosbud;
komunitas; jenis kalimat; komunitas;
redaktur; bentuk sastra) macam pembaca
tujuan) tujuan)
Yang disebutkan di dalam tanda kurung hanya sekedar contoh faktor-faktor yang terlibat dalam masing-masing pihak, dan masih ditambahkan lagi banyak faktor lain. Dalam hubungan dengan perbedaan latar belakang pengarang dan pembaca, maka jarak tempat (kesenjangan budaya) dan jarak waktu (kesenjangan sejarah) perlu diperhitungkan. Semakin dekat jarak, penafsiran semakin mudah. Semakin jauh jaraknya, semakin sulit pula penafsiran. Kadang, seperti dalam kasus KS, pengarangnya bukanlah satu individu yang berdiri sendiri melainkan seorang yang hidup dalam komunitas iman tertentu, atau teks KS itu bukan juga dihasilkan oleh satu orang/satu komunitas dari kurun waktu yang sama, melainkan dihasilkan oleh proses peredaksian dalam kurun waktu yang berbeda. Penting juga diperhatikan tujuan pengarang/komunitas dengan menulis teks itu, ditujukan kepada siapa?
Dengan maksud apa?
Dari pihak teks, perlu dipikirkan apakah itu puisi atau prosa (jenis sastra), surat pribadi atau dokumen resmi komunitas atau traktat teologis/filosofis atau perumpamaan atau doa pujian dalam liturgi (bentuk sastra), apakah itu kalimat perintah atau pertanyaan ataukah kalimat persuasif dll (bentuk kalimat). selain tentu saja seturut bahasa masing-masing perlu dilihat apakah ada idiom-idiom tertentu yang tak bisa begitu saja dialihbahasakan.
Dari pihak pembaca, selain latar belakang, berpengaruh pula kenyataan apakah ia seorang individu ataukah anggota suatu jemaat. Dibedakan pula pembaca asli atau pertama (yang dituju oleh teks itu), atau pembaca kedua (umum dalam kasus KS), ataukah pembaca yang tak real melainkan tersirat (dalam rangka suatu kisah/narasi ada yang disebut implied reader, yang dapat disimpulkan dari kisah itu sendiri), ataukah pembaca kompeten atau tidak kompeten (ahli tafsir KS ataukah umat awam). Selain tentu saja berpengaruh tujuan pembaca ybs. untuk mendapatkan kebangunan rohani, untuk membela iman atau menyerang iman, sekedar ingin tahu ataukah siap diubah oleh teks. Ketiga pihak di atas beserta faktor-faktornya menimbulkan dalam sejarah eksegese bermacam-macam tradisi penafsiran, yang kemudian menjadi cabang eksegese tersendiri, dengan kekhasan masing-masing.
2) Cabang-cabang eksegese KS:
Sejak abad 18, diawali di Jerman, mulai timbul macam-macam cabang eksegese sbb.:
a) Kritik tekstual (menemukan kata/susunan kata yang asli) Kita tak memiliki naskah asli atau autograf teks KS. Ada macam-macam salinan teks kuno KS, ada yang masih dalam papirus lepas, atau dalam dalam gulungan, tapi ada juga yang sudah berupa kodeks (buku dijilid), dari berbagai kurun waktu yang berbeda, dalam lingkup bahasa yang berbeda (versi Ibrani, Yunani, Latin, Koptik dll). Pada umumnya tak ada perbedaan fundamental karena para penyalin kuno amat menghormati teks suci, hanya saja dalam penyalinan teks KS, bisa terjadi beberapa perubahan kata (“variant”) karena salah baca, salah dengar dll. Tugas kritik teks adalah mencari susunan kata atau kata yang sedapat mungkin asli dari berbagai variant yang ada. Maka terbitan teks KS dalam bahasa asli biasanya disertai dengan aparat kritis (berbagai varian yang ada dan gradasi kepastiannya). Untuk penelitian ini jelas diperlukan penguasaan bahasa-bahasa asli KS
dan paleografi (tentang tulisan kuno).
b) Kritik Historis: (mempelajari teks dalam ruang dan waktu) Suatu teks KS itu menggambarkan keadaan ruang dan waktu tertentu (“sejarah dalam teks”) tetapi juga memiliki sejarah penyusunan, penyampaian dan penerimaannya sendiri (“sejarah daripada teks”). Itulah paling tidak dua makna historis teks. Yang pertama, teks mau diselidiki sebagai “jendela” ke masyarakat masa lalu yang digambarkan dalam teks itu. Yang kedua mau menyelidiki kapan, mengapa, bagaimana, teks itu muncul, siapa penulisnya dll. Untuk penelitian ini diperlukan kerjasama antara sejarah, arkeologi,geografi dll.
c) Kritik Tata Bahasa: (menyelidiki bahasa teks) Yang ingin dicapai adalah memasuki alam pemikiran asli penulis teks lewat bagaimana ia menyusun kata-kata. Yang diberi perhatian bukan hanya makna kata, melainkan bagaimana kata-kata itu disusun: dalam frase, dalam unit. Dalam hal ini ada tiga sarana yang penting: kamus dan ensiklopedi alkitab, kamus istilah/leksikon alkitabiah, dan yang terakhir adalah konkordansi alkitabiah.
d) Kritik Sastra: (meneliti komposisi dan gaya retorik teks) Kritik sastra tradisional dalam KS
memusatkan diri pada analisa sumber: darimana bagian suatu teks / dokumen itu berasal karena disadari bahwa teks itu ternyata merupakan kumpulan macam-macam dokumen. Namun dalam studi teks sastra umum, kritik sastra itu meliputi bidang yang cukup luas: struktur karangan, konteks karangan, karakter teks, gaya bahasa, pemakaian gambar/simbol, efek dramatis/estetis atau retoris dll. Nantinya, tema-tema penelitian ini juga diterapkan pada KS.
e) Kritik Bentuk (menyelidiki jenis dan kedudukan teks dlm. kehidupan) Kritik ini lebih memusatkan diri pada bagian singkat suatu teks. Analisa jenis meneliti bentuk, isi dan fungsi unit tsb. dan menggolongkannya pada suatu jenis khusus. Namun identifikasi jenis saja tidak mencukupi. Perlu diselidiki juga kedudukan jenis itu dalam kehidupan (Sitz im Leben). Jadi diselidiki setting kehidupan dalam jaman dulu itu yang menjadi tempat jenis tsb. digunakan (mis. kotbah atau iklan). Makin disadari adanya hubungan erat antara isi, bentuk, dan makna jenis sastra tsb. Misal dalam Mazmur (Kitab Zabur) bisa ditemui macam-macam jenis: ratapan individu/komunitas, ucapan syukur, madah dan tempatnya masing-masing dalam hidup peribadatan Yahudi.
f) Kritik Tradisi: (meneliti tahap-tahap perkembangan di balik teks) Teks KS tak dihasilkan dalam satu kurun waktu saja, melainkan merupakan hasil proses penyusunan dalam perjalanan waktu yang cukup panjang dalam masyarakat Yahudi/Kristen. Maka teks itu merupakan kristalisasi berbagai tradisi dalam masyarakat. Kritik tradisi menyelidiki sifat-sifat suatu tradisi dan bagaiman tradisi tiu dipakai dan disesuaikan dalam perjalanan sejarah suatu masyarakat.
g) Kritik Redaksi: (meneliti sudut pandang akhir dan teologi) Ada teks KS yang bukan dihasilkan oleh seorang individu pengarang, melainkan merupakan hasil pengumpulan, editing, seorang/beberapa redaktur. Maka kritik redaksi menyelidiki satu atau beberapa tahap penyuntingan dan bagaimana sampai pada bentuknya yang terakhir. Ciri khas dari tujuh cabang eksegese di atas adalah perhatian khususnya pada aspek kesejarahan teks, maka biasa disebut metode historis kritis. Jadi teks diselidiki dalam rangkauntuk memahami maksud pengarang dalam kaitannya dengan tempat dan waktu pengarang. Namun selama duapuluhan tahun belakangan ini, perspektif itu dirasa tak mencukupi lagi. Maka timbullah berbagai tradisi penafsiran teks yang non-historis, a.l. kritik narasi.
3) Kritik Narasi:
Karena dua pengalaman dasar menulis dan membaca yang menjadi titik acuan suatu penafsiran, maka kerap perhatian orang terpancang pada diri penulis dan pembaca, pada dunia penulis dan dunia pembaca, dan akibatnya: dunia tekstual pun tidak diperhatikan. Teks yang diproduksi oleh penulis dan dikonsumsi oleh pembaca hanya dipandang sebagai perantara langsung antara kedua subyek tersebut beserta dengan dunianya masingmasing.
Melalui teks, pembaca diandaikan dapat langsung memandang dunia penulis teks. Paham inilah yang kiranya mendasari penyelidikan historis kritis terhadap teks KS. Entah itu melalui kritik teks atau melalui kritik bentuk, entah itu lewat kritik tradisi atau lewat kritik redaksi, entah itu berkaitan dengan “sejarah di dalam teks” atau berhubungan dengan “sejarah dari teks”, pembaca diajak menggunakan teks sebagai “jendela” untuk memandang dunia penulis teks.
Pengandaian ini mulai dipertanyakan orang ketika orang menjadi semakin sadar akan kesenjangan baik spasial maupun temporal antara dunia penulis teks dan dunia pembaca. Ketidakpuasan dialami pula ketika orang berhadapan dengan teks yang tidak lagi merupakan
kesatuan utuh karena telah direduksikan oleh metode historis kritis menjadi bagian-bagian yang berasal dari tempat dan waktu yang berbeda berdasarkan pengandaian bahwa teks dihasilkan oleh pengarang asli yang bertumpu pada suatu tradisi dan kemudian diolah kembali (ditambah maupun dikurangi) oleh (para) redaktor, editor, dan penyalin.
Ketidakpuasan sejenis terjadi pula dalam penelitian sastra umum, bahkan jauh sebelum gejala itu muncul di kalangan para peneliti KS. Sebelum Perang Dunia II para peneliti mendekati karya sastra berdasarkan teori-teori Romantik. Karya sastra didekati dari sudut pikiran pengarang dan kehidupannya.
Sebagai reaksi terhadap perhatian yang berlebihan terhadap dunia di balik suatu karya sastra muncullah Kritik Sastra Baru (New Criticism) pada pertengahan abad ini di Amerika Serikat, yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada paham bahwa arti dan nilai suatu karya sastra terdapat di dalam karya sastra itu sendiri. Minat terhadap karya sastra itu sendiri, lepas dari pengarangnya, sudah mulai dirintis di Rusia sebelum Revolusi tahun 1917 oleh suatu kelompok yang disebut kaum Formalis. Seorang tokoh kelompok ini kemudian pindah ke Amerika Serikat dan amat mempengaruhi perkembangan Kritik Sastra Baru. Hanya saja berbeda dengan para Kritisi Baru yang memandang bentuk estetik karya sastra dari sudut kemanusiaan, kaum Formalis membedakan secara tegas apa yang “sastra” (bentuk estetik sarana-sarana sastra) dan apa yang “ekstra-sastra” (“muatan” kemanusiaan atau makna moral dan kultural suatu karya sastra). Yang satu memandang kesusastraan sebagai bentuk pemahaman manusia, yang lain sebagai penggunaan bahasa khusus yang berbeda dari bahasa praktis.
Berhubungan erat dengan Formalisme Russia adalah Strukturalisme Perancis yang mulai berkembang pada tahun 1960-an. Secara ekstrem mereka menentang setiap bentuk kritik sastra yang mendasarkan diri pada kemanusiaan sebagai sumber dan asal makna kesusastraan. Strukturalisme mendekati karya sastra dari sudut struktur dasar suatu teks yang bahkan tak disadari oleh pengarang sendiri. Dengan perkembangan ini lengkaplah sudah gerakan yang semakin menjauhkan teks dari penulis teks. Pendekatan-pendekatan ini bertitik tolak dari asumsi bahwa makna suatu karya sastra melampaui maksud pengarang karya itu.
Berangkat juga dari asumsi yang sama meskipun tidak menekankan teks itu sendiri, muncullah pendekatan sastra yang berorientasi pada pembaca, yang disebut Reader-ResponseCriticism. Bagi kritisi ini makna suatu karya sastra bukanlah terdapat dalam teks, entah sebagai perwujudan maksud pengarang (penelitian historis dan teori Romantik) entah terkandung dalam struktur bawah teks (strukturalisme), melainkan dalam perjumpaan antarateks dan pembaca. Gambaran yang biasa dipakai untuk menunjukkan fungsi teks dalam pendekatan yang menekankan teks dan pembaca adalah gambaran teks sebagai “cermin”.
Dunia tekstual yang diciptakan oleh pengarang mengajak pembaca untuk melihat dunia “sesungguhnya” tempat pembaca itu hidup dan menyadari betapa dunia tekstual itu mengatakan sesuatu yang benar tentang dunia yang sesungguhnya itu. Di manakah letak kritik naratif di antara berbagai pendekatan ini? Dalam penelitian sastra umum, setiap pendekatan di atas meneliti narasi dari sudut pandang mereka masingmasing.
Jadi istilah “kritik naratif” (narrative criticism) sebagai suatu bidang penelitian sastra yang berdiri sendiri jarang sekali digunakan dalam penelitian sastra umum, walaupun ada kecenderungan untuk menempatkannya sebagai sub-bagian penelitian yang berorientasi pada
pembaca. Dalam penelitian KS, kritik naratif memperoleh tempat tersendiri. Yang umum dilakukan dalam penerapan kritik naratif pada teks KS adalah menggunakan kategorikategori
kritik naratif sebagai titik tolak tafsir narasi alkitab tanpa peduli akan asal mula teoretis maupun ideologis kategori-kategori tersebut. Kategori-kategori tersebut mencakup a.l. plot (alur cerita), narator (penutur), karakterisasi (penokohan), pembaca, pengarang, sudut pandang, pengolahan waktu, dan settings (latar). Yang penting dalam pendekatan ini adalah membaca kisah itu sendiri berulang-ulang kali. Hanya dengan demikian orang akan mengalami bagaimana kisah itu menjadi hidup dan seakan-akan merupakan suatu dunia tersendiri dengan segala hukum-hukumnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More