Hermeneutika merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa inggris hermeneutics, bersumber dari kata dalam bahasa Yunani hermeneuine dan hermenia yang masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Persoalannya, kata latin hermeneutica belum muncul sampai abad ke-17, namun baru muncul pertama kali saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborg bernama johann Konrad Danhauer (1603-1666) dalam bukunya yang berjudul : Hermeneutica sacra, Sive methodus Eksponendarums Sacrarum Litterarum, yamg menilai bahwa Hermeneutika adalah syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teks-teks. Ia secara terbuka mendeskripsikan inspirasinya dari Risalah Peri hermeneias (de interpretations) Aristoteles, yang mengklain bahwa ilmu interpretasi yang baru berlaku tidak lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian.
Istilah Hermeneutika pada masa ini mengandung dua pengertian, yaitu Hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami. Sementara Wilhelm Dilthey, sejarawan pertama tradisi Hermeneutika, menyatakan bahwa hermenetika telah muncul satu abad lebih awal oleh Protestantisme, sesaat setelah lahirnya prinsip Sila Scriptura Luther. Namun dari laporan Dilthey, kita akan kesulitan menemukan dari tulisan-tulisan apa yang dapat disebut Hermeneutika dalam semangat Luther. Baru dalam karya para pengikut Luther seperti Philipp Melanchton (1497-1560) dan Flacius Illyricius (1520-1575).
Pada gilirannya seorang filosof pengikut protestan berkebangsaan Jerman Schleiermacher dinilai sebagai orang yang bertanggung jawab membawa Hermeneutika dari ruang biblical studies ke ruang lingkup filsafat, sehingga ia kemudian dianggap sebagai “pemrakarsa Hermeneutika modern”. Menurutnya apa saja yang berbentuk teks dapat menjadi objek Hermeneutika, dan tidak terbatas hanya pada teks kitab suci. Selanjutnya Hermeneutika dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey sendiri yang menggagas hermeneurika sebagsi landasan ilmu-ilmu kemanusiaan, lalu Hans-Georg Gadamer yang mengembangkannya menjadi metode filsafat, dan dilanjutkan oleh para filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jacques Derrida, Michel Foucault, Lyotard, Jean Baudrillard, dan yang lain.
Sementara dalam filsafat kuno sebetulnya telah terlihat tradisi mencari hal-ihwal yang dapat dianggap sebagai Hermeneutika dalam teks-teks klasik seperti De Interpretation Aristoteles, yang sering diterjemahkan dalam bahasa Jerman dengan “Hermeneutika Aristoteles”. Orang Yunani menggunakan kata “ermenia” untuk mendeskripsikan apa yang sekarang kita sebut sebagai penerjemahan, atau lebih tepat diartikan sebagai penafsiran.
Sementara ketika bahasa tulis (teks) muncul, Aristotels menegaskan bahwa “tanda-tanda tertulis itu hanyalah simbol bagi ucapan lisan”, sebagaimana penegasan Plato tentang hal ini, bahwa “wacana tertulis, yang paling baik sekalipun, tetap saja berfungsi sebagai re-memorasi”. Di sini, keduanya sepakat untuk mengembalikan media tertulis ke kata yang terucap, sedangkan kata terucap ini adalah simbol bagi kata batin (inner word)
Dari tiga horizon ini, Aristoteles mengasumsikan bahwa tidak ada yang benar-benar hilang dalan rangkaian transmisinya. Artinya, kata tertulis tanda yang dengan persis mewakili kata batin. Sementara Plato menekankan perbedaan antara horizon-horison itu, menurutnya tidak ada jaminan bahwa kata tertulis akan dapat dipahami dengan tepat.
0 komentar:
Posting Komentar