Cerita “Madame X” terjadi di sebuah negeri antah berantah dan mengambil sudut pandang dari kaum waria.Di negeri ini, seorang waria bernama Adam (Amink) sedang berulang tahun.Hari bahagia tersebut pun dirayakan oleh ibu angkatnya yang dipanggil Tante Liem (Baby Jim Aditya), waria bernama Aline (Joko Anwar) yang merupakan sahabat karibnya, dan Cun Cun (Fitri Tropica).Tiba-tiba seorang wanita bernama Bunda Lilis (Sarah Sechan) datang berkunjung ke salonnya dan memperingatkannya agar tidak mempelajari sebuah tarian yang bisa membunuhnya. Tiba-tiba seorang wanita bernama Bunda Lilis (Sarah Sechan) datang berkunjung ke salonnya dan memperingatkannya agar tidak mempelajari sebuah tarian yang bisa membunuhnya.Tanpa mengerti maksud dari Bunda Lilis, Adam pun hanya mendengarkan ramalan itu saja.Di malam harinya, Adam bersama Aline dan Cun Cun merayakan ulang tahunnya di sebuah klub waria.Ternyata tempat itu diserang oleh sebuah ormas yang suka melakukan tindak kekerasan dan dipimpin oleh Kanjeng Badai (Marcell Siahaan). Semua waria diangkut ke dalam sebuah truk. Aline, yang memang selalu bicara sesuka hati tanpa melihat kondisi di sekitarnya, harus berakhir dilempar keluar truk. Adam pun marah dan berusaha melawan, tapi nasibnya pun sama dengan Aline. Ia dilempar keluar dari truk. Lalu, Adam diselamatkan oleh sepasang suami istri, Om Rudy (Robby Tumewu) dan Tante Yantje (Ria Irawan). Pasangan tersebut memiliki kelompok penari yang menarikan Tari Lenggok.
Pasangan tersebut memiliki kelompok penari yang menarikan Tari Lenggok.Adam yang tidak ingin kembali ke ibukota pun akhirnya tinggal dan mempelajari tarian tersebut.Ternyata, tarian tersebut juga membuatnya menjadi ahli bela diri.Berkat latihan tari tersebut, Adam jadi mahir. Sesuai dengan keahlian yang dimiliki, Adam menggunakan senjata tas make-up untuk membeladiri. Karena dorongan yang kuat untuk menyelamatkan kawan-kawannya, Adam kembali ke ibukota sebagai 'Madame X'. Di kota, Kanjeng Badai ternyata sibuk berkampanye untuk pemilihan pemimpin. Adam merasa tak rela jika orang sejahat Kanjeng Badai terpilih.
Dengan kekuatan tas make-up dan peralatan dandan, juga perpaduan seksi antara seni bela diri dan gerak tari, Madame X harus mengalahkan Kanjeng Badai dengan gemulai sebelum musuhnya itu memenangkan pemilu. Halangan terbesarnya adalah pendukung partai politik Kanjeng Badai yang terkenal militan dan homophobia.
Dari sinopsis di atas, mungkin sudah dirasakan ada bagian yang relevan dengan kondisi masyarakat sekarang. Nyatanya, film ini memang tidak malu-malu dalam melemparkan berbagai macam sindiran ke berbagai macam kalangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari karakter, adegan, dan dialog yang dilontarkan.“Madame X” memperlakukan isu-isu sosial yang disinggungnya itu seperti meneriakkan betapa gilanya kondisi di Indonesia yang dianggap semakin absurd.Teriakan tersebut begitu jelas dan lantang.Dengan menggunakan medium film superhero, penyelesaian yang diberikan oleh film ini pun membuat keseluruhan film bernuansa fabel.
Madame-X ini film yang cerewet bukan main, sebab kebanyakan karakternya adalah pemeluk
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) sehingga mereka menggunakan gaya bicara yang sungguh menggelitik. Bahasa-bahasa bikinan sendiri, lengkap dengan gesturnya.Kecerewetan ini yang membuat kami menduga bahwa Madame-X pastilah diarahkan oleh seorang yang akrab dengan dunia LGBT, atau bahkan pemeluk LGBT yang taat. Siapapun dia (di kredit titel: namanya Lucky Kuswandi; sebelumnya pernah membuat film “Pertaruhan”), kemungkinan besar bukan
director-for-hire yang ditunjuk untuk mengarahkan film sesuai dengan kemauan produser-investor. Ia punya unek-unek pribadi untuk ditunjukkan kehadapan semua orang, dan Madame-X adalah cara yang baik mengingat isu LGBT akan menjadi sangat menakutkan bagi khalayak bila diceritakan dengan cara yang serius. Komedi superhero berlatar belakang negeri khayalan menjadi pilihan yang tepat.
Dalam cerita Madame-X terdapat beberapa wacana yang mengemuka.
Analisis wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini, adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui. Jadi, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subyek dan berbagai tindakan representasi.
Wacana di dalam kehidupan media juga memiliki pengertian yang mendalam. Menurut Norman Fairclough (1995), wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang tertentu. Fiske, wacana harus diartikan sebagai suatu pernyataan atau ungkapan yang lebih dari satu ayat; W. O’Bar, wacana merupakan penyampaian ide-ide dari seseorang kepada yang lainnya.(Stephen Harold Riggins, 1997); Eriyanto (2001), wacana berkaitan erat dengan kegiatan komunikasi, yang substansinya tidak terlepas dari kata, bahasa, atau ayat.Dalam (Sobur Alex, 2001), wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.
Jadi, wacana adalah proses komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, tidak bersifat netral atau steril.Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain.Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.
Teks di dalam media adalah hasil proses wacana media (media discourse) Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media “tidak netral” sewaktu mengkonstruksi realitas sosial.
Media mengikutsertakan perspektif dan cara pandang mereka dalam menafsirkan realitas sosial. Mereka memilihnya untuk menentukan aspek-aspek yang ditonjolkan maupun dihilangkan, menentukan struktur berita yang sesuai dengan kehendak mereka, dari sisi mana peristiwa yang ada disoroti, bagian mana dari peristiwa yang didahulukan atau dilupakan serta bagian mana dari peristiwa yang ditonjolkan atau dihilangkan; siapakah yang diwawancarai untuk menjadi sumber berita, dan lain-lain. Berita bukanlah representasi dari peristiwa semata-mata, akan tetapi di dalamnya memuat juga nilai-nilai lembaga media yang membuatnya. (Gaye Tuchman, 1978).
Intinya, pandangan analisis wacana kritis memandang bahwa media harus ditempatkan sebagai ruang atau forum publik (public forum) yang bebas. (Stuart Hall, dalam, Stanley J. Baran and Denis K. Davis, [2000]) Di dalam forum tersebut setiap unsur masyarakat berkompetisi untuk mewacanakan simbol-simbol yang merepresentasikan ideologi mereka masing-masing.
Di dalam kompetisi tersebut, sekalipun kelas dominan memiliki kelebihan-kelebihan, namun selalu saja ada kelas yang bekerja keras untuk mengimbanginya. Di sisi lain, media ternyata bukan lembaga yang netral. Masukan pemikiran dari aliran kritis ini pada dasarnya memipikan sebuah lingkungan bebas tanpa pretensi untuk semua pihak yang berkepentingan dengan media massa.(Dikutip dari rubrik Riset, Dictum edisi Perdana, April 2007)
Dalam film Madame-X sendiri terdapat beberapa wacana yang sangat mengemuka diantaranya:
1. Wacana Homoseksualitas
Madame-X juga membuka wacana bahwa homoseksualitas bukanlah hal yang elit, apalagi penyakit.Ia bisa menjangkiti kelas manapun dengan latar belakang apapun. Buktinya, Adam yang notabene berasal dari kelas rendahan saja bisa menjadi gay yang baikhati dan jenaka.
Kamera diarahkan untuk mengumbar eksotisme dalam terminologi kaum gay, satu-satunya ‘penampakan’ perempuan hanyalah adegan pementasan tari lenggok.Madame-X mengusung semacam agenda-politis tersendiri dimana wacana menyangkut homoseksualitas yang selama ini ditabukan, bisa diangkat keruang publik secara selektif dan bersahabat
2. Wacana Emansipasi Waria
Dalam film ini sangat terlihat jelas adanya emansipasi yang dilakukan oleh waria untuk memperoleh kesamaan harkat dan martabat diantara kaum pria dan wanita.Waria itu sendiri merupakan kependekan dari wanita pria, dimana yang dimaksudkan disini adalah pria yang merasa diri bukan sebagai pria tetapi lahir di tubuh pria. Maka dari itu waria akan berusaha untuk mengubah dirinya menjadi wanita, atau setidak-tidaknya mendekati wanita. Hal ini tentunya berbeda dengan gay, homoseksual, dimana gay atau homoseksual adalah pria yang menyukai sesama pria.
Emansipasi adalah sebuah gerakan penyetaraan harkat dan martabat. Dalam film ini yang melakukan gerakan emansipasi adalah kaum waria, dimana hal ini sangat ditunjukkan secara vulgar diseluruh bagian dari film ini, bahwa waria itu tidak berbeda dari laki-laki dan wanita, bahwa waria itu bisa menjadi seorang superhero yang membela keadilan melawan kejahatan mafia yang dibelakangnya adalah seorang tokoh politik yang ingin menguasai negara antah berantah.
3. Wacana hegemoni.
Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik atau kelompok kelas hegemonik adalah kelompok kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lainnya dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi (Gramsci- gagasan-gagasan politik Gramsci hal 22). Dalam film ini terdapat hegemoni kaum pria terhadap kaum wanita dan juga terutama kaum waria. Kaum waria selalu menjadi orang ketiga yang selalu saja menjadi sasaran pelecehan dari laki-laki maupun wanita, dan yang menjadi persoalannya adalah kaum waria juga secara tidak langsung “melanggengkan” prosesi ini antara lain dengan tetap mengambil pekerjaan-pekerjaan “kelas bawah”, seperti pelacur. Di film ini juga terjadi emansipasi dan perlawanan atas hegemoni ini yang dilakukan oleh Madame-X.Madame-X, superhero yang juga waria menjadi symbol perlawanan kaum waria atas penindasan yang dilakukan oleh laki-laki yang disimbolkan dengan Kanjeng Badai dengan gerombolannya.
4. Wacana Politik
Dalam film ini terdapat wacana tentang politik yang sangat kacau dinegara antah berantah, dimana seorang Kanjeng Badai yang raja kejahatan bisa mencalonkan diri menjadi seorang calon presiden, yang bahkan memiliki dukungan massa militant yang cukup banyak. Ironi ini merupakan kritik yang ingin disampaikan oleh penulis tentang kacaunya keadaan politik di negara antah berantah alias Indonesia.Ketika kritik langsung dianggap sudah tidak relevan, maka kritik-kritik politik yang cenderung vulgar disampaikan melalui media, dan dalam hal ini disampaikan lewat media film.
Dalam film ini juga sangat kental dengan wacana dominasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki (patrilineal).Hal ini ditunjukkan bahwa yang menjadi pemimpin kejahatan adalah seorang laki-laki (kkanjeng badai) dan juga semua anak buah kanjeng badai utama, yang memiliki kekuatan berjenis kelamin perempuan.Dalam hal ini, sangat terlihat adanya dominasi laki-laki atas perempuan.Bahwasanya yang menjadi pemimpin ideal adalah seorang laki-laki, dan wanita hanya menjadi anak buah saja.Realita memang.