jatiluwih

jatiluwih

Kamis, 28 Juli 2011

melihat peran antropolg di Bali


Antropologi di Bali akan kemanakah nasibmu??
Antropologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan.  Setiap gerak langkah manusia merupakan nafas kebudayaan, tentunya kecuali makan, sex dan tidur karena ketiganya merupakan sifat alami manusia. Seringkali ada salah kaprah dalam masyarakat awam bahwa yang disebut dengan kebudayaan adalah seni.  Tidak dapat disalahkan memang, karena seni merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi kebudayaan itu tidak melulu membicarakan seni.
Berbicara mengenai Bali, merupakan sebuah daerah yang sangat dikenal akan kebudayaannya (katanya). Akan tetapi kebudayaan disini seringkali lebih diartikan sempit, budaya=seni. Diluar itu, hanya aktivitas biasa manusia. Apalagi ketika pada saat ini ketika pariwisata menjadi raja baru di Bali, kebudayaan mengalami pergeseran makna lagi, kebudayaan=barang dagangan.  Bahkan hal ini diamini oleh orang Bali sendiri. Dimana semua seni kreatif orang bali baik yang berasal dari tradisi maupun kontenporer semuanya berlomba-lomba diperjual belikan kepada wisatawan yang hanya mengenal bentuk dari seni kreatif tersebut.  Fungsi maupun makna dari kreatifitas orang Bali itu semuanya digadaikan, diubah demi kepentingan perut sendiri. Sesuatu hal yang bersifat sacral, suci, tidak boleh diubah kemudian dibuatkan pentomennya (copyan) demi kejayaan pariwisata Bali, demi membludaknya wisatawan ke Bali yang tiap tahun meningkat, tanpa memperhatikan daya dukung pulau kecil ini.
Sungguh malang sekali nasib masyarakat Bali dimasa mendatang jika kondisi ini berlangsung secara terus menerus tanpa adanya perubahan yang sangat signifikan, mungkin diperlukan adanya intervensi alien guna menyadarkan masyarakat Bali akan apa yang sudah dan akan terjadi.
Melihat kondisi yang riil dilapangan sungguh menyedihkan melihat peran antropologi di Bali dalam melakukan setidaknya identifikasi permasalahan yang ada di Bali. Memang tidak sepenuhnya ini salah antropolog itu sendiri, bahkan mungkin jurusan antropologi yang ada di Bali, tapi lebih kepada komplikasi permasalahan yang ada.
Pemerintah sebagai central point penentu kebijakan memegang faktor yang sangat besar dalam terpuruknya antropologi, secara tidak langsung kebudayaan di Bali. Pemerintah lebih mengutamakan pengembangan pariwisata yang sudah jelas-jelas  mendatangkan devisa (uang) daripada mengembangkan (melestarikan) kebudayaan yang ada di masyarakat. Memang mengembangkan, melestarikan budaya itu tidak akan menghasilkan uang secara langsung, tapi itu adalah bagaimana kita menanamkan semangat local dalam menghadapi persaingan global, bukankah hal itu yang menjadikan para orang tua kita survive menghadapi dunia??????
Hal yang sangat lucu bagi saya ketika lowongan budaya dibuka, yang dicari adalah sarjana pariwisata. Begitu rendahnyakah nilai budaya masa kini, hanya dinilai dengan uang (wisatawan). Bukannya saya mengecilkan arti dari seorang pakar pariwisata, tapi budaya itu jauh lebih luas cakupannya dari pariwisata.
Selain itu, gaung antropologi sendiri sudah sangat kurang di bali, terutama didunia pendidikan menengah atas. Antropologi yang seharusnya lebih cocok berada dijalur sosial malah dipindah ke bahasa, dan juga digabung dengan sosiologi. Kalau ini terjadi, kenapa tidak fisika dan kimia digabung menjadi satu. Sama juga kan artinya. Ketika gaung antropologi ditigkat pendidikan menengah atas berkurang, ini akan berimplikasi langsung pada besar-kecilnya peminat jurusan antropologi di universitas. Yang saya bisa lihat langsung adalah di almamater saya sendiri, udayana dimana peminat jurusan antropologi setiap tahun fluktuatif, naik turun dan malahan mengalami  trend penurunan. Salah siapa disini?? Ya salah semuanya juga, memang permasalahan antropologi ini sangatlah kompleks.
Kemudian ketika jumlah peminat antropologi di universitas menurun, hal ini juga berarti semakin berkurang pendekar-pendekar pembela local genius setempat. Kemudian yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, mau dimana kebudayaan kita?????
Mungkin yang satu-satunya diuntungkan adalah makin berkurangnya peminat antropologi, maka peluang beasiswa lebih besar, demikian jugan dengan peluang kerja???? Tapi apa iya???? Ada anekdot dari dosen saya dulu bahwa ada persepsi mahasiswa antropologi itu mempelajari bintang-bintang (sebegini parahnya masyarakat kita). Jadi mungkin suatu saat antropolog itu bekerja di observatorium boscha, melihat bintang.
Melihat peran antropolog di bali (saya juga antropolog) sangat-sangatlah kecil sekarang. Semua antropolog berlomba-lomba bekerja untuk pemerintah (termasuk saya), dan juga menjadi kacung pariwisata. Pemikiran kritis dari para antropolog di bali sangatlah langka saya temukan sekarang, lebih hanya pembicaraan diatas kertas, tanpa adanya hasil riil dilapangan, memang benar antropolog itu lebih berfokus diri pada penelitian, identifikasi, observasi dan kemudian deskripsi tapi apakah hal itu meninggalkan pemikiran kritis kita??? Seharusnya kita mampu berbuat lebih, kita punya tanggung jawab sosial dan moral kepada masyarakat kita. Misalnya saja kita mampu bahkan lebih mampu dalam hal identifikasi konflik daripada kepolisian, karena apa? Kita tahu budaya, kita tahu pola masyarakat, sedangkan polisi tidak. Kadangkala itu yang kita tidak sadari atau tidak kita lakukan.
Demikian juga dalam hal pariwisata. Ketika antropolog diberdayakan saya yakin pola pariwisata yang ada dibali tidaklah seperti sekarang yang sangat-sangat kapitalis, budaya=barang dagangan. Dan sayangkali pihak yang berkepentingan tidak sadar akan hal ini. Hhhhhhhhh,…..
Mau jadi apa antropologi di bali, mau jadi apa bali ini.
Melihat peran antropolog dibali yang seharusnya penting, bagaikan mimpi disiang bolong.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More