jatiluwih

jatiluwih

Kamis, 28 Juli 2011

Asal Merana versi Raja Purana Batur


Mengenai asal muasal merana ini, seperti yang dituliskan dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur:
Setelah sah dari Gunung Semeru, Hyang Bhatari Danuh dan Hyang Bhatara Putrajaya, telah lama bersthana di Bali, atas bhisama Hyang Bhatara Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru. Pada suatu ketika Hyang Bhatari Danuh yang bersthana di Gunung Batur dan memiliki hobi bertani, sedang asik merawat tanaman bawang dan kesunanya di pertanian tanah mel. Pada waktu itu Hyang Bhatara Putrajaya yang bersthana di Gunung Agung, dengan berwahana kuda datang berkunjung ke Danau Batur, langsung menuju parahyangan Hyang Bhatari Danuh. Karena Hyang Bhatari Danuh sedang berada di lahan pertaniannya, maka parahyangan Hyang Bhatari Danuh pun kosong. Oleh karena itu Hyang Bhatara Putrajaya, menunggu di parahyangan Hyang Bhatari Danuh, sementara wahana kudanya ditambatkan di luar.
Selang beberapa waktu kemudian, kuda yang ditambatkan itu terlepas dan terus merumput dibagian lain lahan pertanian Hyang Bhatari Danuh, yang tanaman bawang merah dan putihnya sedang tumbuh dengan subur. Oleh karena itu banyaklah tanaman bawang merah dan bawang putih Bhatari Danuh yang rusak karena diinjak-injak oleh kuda yang sedang merumput itu. Kebetulan pada saat itu Bhatari Danuh datang melihat tanamannya yang rusak karena diinjak-injak oleh kuda yang sedang merumput di bagian lahan itu. Betapa marah dan sedihnya Hyang Bhatari Danuh pada saat itu. Setelah dapat menguasai emosinya, kemudian Bhatari Danuh mengutuk kuda itu, lalu kuda itupun mati.
Lama sudah Hyang Putrajaya menunggu adiknya, Bhatari Danuh yang tak kunjung kembali ke parahyangan. Maka Hyang Bhatara Putrajayapun segera meninggalkan parahyangan Bhatari Danuh, untuk melihat kudanya yang sedang ditambatkan di luar. Setelah sampai diluar, betapa terkejutnya Hyang Bhatara Putrajaya menyaksikan kudanya telah lenyap dari tambatannya. Hyang Bhatara pun segera mengikuti jejak kudanya, terus menuju ke lahan pertanian Hyang Bhatari Danuh. setelah Hyang Bhatara Putrajaya sampai dilahan pertanian Hyang Bhatari Danuh, betapa terkejutnya melihat wahana kudanya telah mati, sedangkan disampingnya berdiri Hyang Bhatari Danuh menyaksikan tanaman bawang merah dan bawang putihnya yang rusak porak-poranda. Hyang Bhatara Putrajaya bertanya kepada Hyang Bhatari Danuh, siapa yang membunuh kudanya. Hyang Bhatari Danuh mengakui terus terang, bahwa Hyang Bhatari Danu sendirilah yang membunuh kuda itu karena telah memporak-porandakan tanaman bawang merah dan bawang putihnya yang sedang tumbuh subur. Menanggapi kenyataan seperti itu, Hyang Putrajaya berdiam. Di dalam hati, mengakui kesalahan kudanya, tetapi marah juga. Dalam, kemarahan itu, dalam hati, Hyang Bhatara Putrajaya lalu mengutuk bangkai kuda itu agar mengeluarkan bau busuk selama 42 hari (bulan pitung dina).
Taman sari, taman mel, dan lahan pertanian Hyang Bhatari Danu dipenuhi oleh bau busuk bangkai kuda itu. Bau busuk yang selalu memenuhi areal taman sari, tanah mel (yeh mampeh) dan lahan pertanian Dewi Danu tentu kurang mendukung suasana taman yang indah dan asri. Kemudian Hyang Bhatari Danuh memohon kepada Hyang Bhatara Bayu agar menghembus bau busuk itu sehingga lenyap dari kawasan taman sari dan lahan Hyang Bhatari Danuh yang indah dan asri itu. Bhatara Bayu pun segera hendak menolong Bhatari Danuh, tetapi belum sempat memberikan bantuan, bangkai busuk itu keburu berubah menjadi babi hutan (celeng alasan), yang dengan buasnya terus merusak taman sari dan lahan pertanian Bhatari Danuh. Bhatari Danuh pun segera mengutuk babi itu lalu mati. Sebelum sampai mengeluarkan bau busuk yang dapat mengganggu keindahan dan keasrian taman sari dan lahan pertanian Dewi Danuh, bangkai babi ini segera diembus oleh Bhatara Bayu dan ditenggelamkan di Danau Batur. Maka air Danau Batur pun menjadi cemar. Selain itu, bulu, tulang-tulang, kuping, kaki , ikuh (ekor) bangkai babi ini kemudian berubah wujud menjadi berbagai bentuk dan jenis hama tanaman, seperti candang, ludus, giling barak, giling putih, damuh lengis, balang sangit, mereng, bikul dan hama-hama tanaman lainnya.
Menyaksikan keadaan seperti itu, Hyang Bhatari Danuh lalu mengeluarkan kutukan. Sejak saat itu, orang-orang tampurhyang tidak boleh memelihara kuda, yang melanggar akan menjadi cendek tuwuh, dan keluarganya akan mederita penyakit yang menyusahkan. Yang boleh memelihara kuda hanya Jero Gede Batur Makalihan, kuda yang berbulu purnamasada. Termasuk yang boleh memelihara kuda Jero Mekel, dan kuda yang dipelihara adalah kuda yang berbulu hitam. Itulah sebabnya sampai sekarang orang-orang Batur tidak ada yang memelihara kuda. Juga Hyang Bhatari Danuh mengutuk agar orang-orang batur tidak boleh memelihara bangkung, karena babi pernah menciptakan kesusahan, bangkainya menjadi berbagai macam hama pertanian. Sehingga sampai sekarang krama Desa Adat Batur tidak ada yang memelihara bangkung. Kutukan lainnya adalah di kawasan lembah Gunung Batur yang merupakan areal taman sari Bhatari Danuh, tidak boleh menanam padi. Jika ada yang melanggarnya, akan berakibat kena penyakit koreng, kerek, sored dan sejenis penyakit gatal lainnya.
Sejak tercemarnya Danau Batur dan sekaligus menjadi sumber dari segala macam merana, maka semenjak itu panen tidak berhasil. Sehingga kemakmuran dan kesejahteraan krama subak tidak terwujud. Sehingga kehidupan menjadi terak. Karena air danau menjadi cemar, air yang mengali mengecil untuk mengairi sawah, untuk kebutuhan hewan dan manusia, tumbuhan-tumbuhan menjadi tidak bermana. Untuk memarisudha kembali air danau yang cemar dan menjadi sumber berbagai macam merana, maka guru wisesa bersama subak-subak di Balidwipa, dan krama Desa Adat Batur melakukan persembahan dan pemujaan pemerasan Danau Batur, yang pada dasarnya memiliki tujuan untuk memohon kehadapan Bhatari Danuh atau Dewi Sri agar air Danau Batur menjadi suci dan bermana kembali, sehingga memiliki kekuatan baik untuk mengairi tanaman padi di palemahan subak masing-masing maupun untuk kebutuhan umat manusia, hewan dan tanaman lainnya (Oka Supartha:1993, 70-74).

1 komentar:

OM SWASTYASTU,
Mau tanya sumber tulisan diatas darimana?? Apakah dari buku!?? Kalau iya mohon info judul bukunya.
Suksma
OM SHANTI,SHANTI, SHANTI OM

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More