“ peneliti pembebasan …… melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang diteliti, bukan sebagai ‘orang kampus’ yang datang mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi ‘orang kampung’. Berbeda dengan peneliti konvensional yang bagaikan tupai meloncat dari satu ‘proyek’ penelitian ke ‘proyek’ lain, peneliti pembebasan bersama-sama mitra penelitiannya menyusun agenda aksi untuk menegakkan kedaulatan mereka agar dapat mengembangkan potensi diri mereka secara penuh. Untuk itu ia harus bersedia memberikan komitmen jangka panjang untuk bekerja bersama masyarakat mitra penelitiannya.”
Letak ketimbalbalikan dalam wawancara mendalam adalah, mitra penelitian juga berhak berkenalan dengan pewawancara dengan seluruh jati dirinya, mengetahui apa tujuan wawancara, dan penggunaan hasil penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan, antara lain, dengan wawancara mendalam itu. Dalam penelitian konvensional, khususnya dalam penelitian antropologi, itu adalah bagian dari penciptaan kepercayaan mitra terhadap peneliti (rapport creating), yang oleh sebagian antropolog diatasi dengan mengawini seorang laki-laki atau perempuan dari komunitas yang ingin ditelitinya. Itu adalah bagian dari apa yang sering disebut, going native (‘menjadi orang asli’), walaupun tidak semua peneliti yang menikah dengan perempuan atau laki-laki setempat, bermaksud ‘menjadi orang asli’.
Selesai melakukan penelitian lapangan selama setahun, para (calon) antropolog meninggalkan masyarakat yang ditelitinya, dengan membawa berbagai artifak sebagai memento (kenang-kenangan) dari masyarakat tersebut, sekaligus sebagai dekorasi di rumah atau kantornya, untuk mengklaim legitimasi sebagai orang yang dapat berbicara “atas nama” komunitas yang sudah ditelitinya.
Berbeda dengan antropolog yang melakukan penelitian skripsi, tesis, disertasi doktor dan post-doktoral, buat peneliti pembebasan wawancara mendalam dapat menjadi “semen perekat” dengan komunitas yang didampinginya. Itu sebabnya, peneliti harus bersedia “ditelanjangi” oleh para mitranya, menertawakan ketakutan-ketakutan dan prasangka-prasangka yang dimiliknya sebelum bergaul dengan intim dengan komunitas itu, dan berbagi rasa dengan mereka sebagai sesama manusia, bukan sebagai “pakar”.
Sebagai bagian dari kesetaraan itu, segala macam teknik pencatatan dan perekaman informasi yang ingin dilakukan oleh peneliti, sebaiknya hanya dilakukan dengan persetujuan mitra penelitian. Baik itu bersifat penggunaan alat pencatat, tape recorder, apalagi camcorder. Denah yang menggambarkan peristiwa-peristiwa penting yang ingin digali oleh peneliti, sebaiknya juga dimintakan pada mitra untuk menggambarkannya. Baru kemudian dalam laporan penelitian, denah hasil karya para mitra itu digambar kembali oleh peneliti atau artis grafik, apabila memang diperlukan.
DATA YANG DIHARAPKAN
SEPERTI pada questionnaire atau pedoman wawancara, ada tiga kelompok informasi yang dapat diharapkan dari serangkaian wawancara mendalam, yakni:
1. Keterangan tentang jati diri subyek wawancaranya, termasuk kedudukannya dalam komunitasnya;
2. Keterangan tentang pandangan sang subyek tentang “dunia sekitarnya”, khususnya tentang hal-hal yang ingin diketahui oleh si pewawancara;
3. Keterangan tentang pandangan sang subyek tentang:
(a) bagaimana ia dapat survive dalam dunia sekitarnya, atau
(b) bagaimana ia dapat mengubah dunia sekitarnya supaya kondisi hidupnya lebih ideal, atau paling tidak, lebih nyaman.
Seringkali, hal-hal yang menyangkut kelompok informasi kedua memerlukan percakapan-percakapan yang panjang, tidak langsung, agak berputar-putar, untuk menggali ingatan-ingatan yang secara sadar atau tidak sadar, ditekan ke bawah permukaan. Atau, merupakan hal-hal yang kurang nyaman atau terlalu sensitif untuk dibicarakan dengan si pewawancara yang baru dikenal. Misalnya, dalam wawancara mendalam dengan perempuan-perempuan di daerah Poso dan sekitarnya, yang bertujuan menggali ingatan kolektif mereka tentang kerusuhan dan kekerasan yang tak kunjung berakhir, pengajuan pertanyaan-pertanyaan itu perlu dilakukan secara sangat hati-hati. Para perempuan yang diwawancarai, perlu merasa akrab dan penuh percaya dulu dengan si pewawancara, yang tidak selalu sejenis kelamin dengan mereka. Kata kuncinya adalah “empati”, kemampuan merasakan apa yang mereka derita dan bersimpati dengan mereka.
Contoh lain lagi, adalah kesulitan mewawancarai para pengungsi Timor Leste di kamp-kamp pengungsian di Timor Barat, kalau orang-orang yang mereka takuti ada di sekitar mereka, dan dapat mendengarkan seluruh proses wawancara itu. Makanya, tempat di mana wawancara berlangsung kadang-kadang sangat penting.
Berbicara soal tempat, kita harus membedakan wawancara-wawancara menyangkut peristiwa yang sudah menjadi memori kolektif, yang dapat dilakukan di warung, di musholla, di mesjid, atau di biara, dan wawancara yang menyangkut hal-hal yang masih bersifat rahasia (menurut adat istiadat), sekuriti (menyangkut perlawanan terhadap kekuasaan formal), dan yang menyangkut hal-hal yang sangat privat, seperti masalah seks.
Hal-hal yang menyangkut pengalaman traumatis yang berkaitan dengan pelecehan seksual, praktis hanya akan diungkapkan perempuan korban kepada pewawancara perempuan, dalam ruang tertutup yang sangat privat pula. Salah seorang peneliti pelecehan seksual terhadap perempuan, menceritakan pengalamannya mewawancarai perempuan korban sambil mencuci rambutnya di kamar mandi. Dalam hal ini, pewawancara kadang-kadang terikat kaki dan tangannya, untuk tidak mempublikasikan hasil wawancara mendalam itu. Konfidensialitas itu pernah dilanggar oleh satu kelompok perempuan di Poso, yang membocorkan hasil wawancara mereka dengan para perempuan korban kepada pers lokal, yang serta merta menyiarkan kesaksian para perempuan yang dijuluki Koramil (‘korban rayuan militer’) tersebut.
Sebaliknya, seorang kawan dari Komnas Perempuan di Jakarta, tidak mau melepas hasil wawancara dengan para korban mutilasi genital yang dilakukan sekelompok milisi dari Jawa yang datang ke Seram, kepada seorang peneliti militerisme seperti penulis sendiri. Terpaksa saya hanya berulangkali menggunakan tulisan seorang feminis (Hutabarat 2003: 216), serta hasil-hasil wawancara saya dengan sejumlah narasumber laki-laki, tanpa mengungkapkan jati diri para korban, dalam berbagai tulisan saya (misalnya, Aditjondro 2004: 51-2).
KODIFIKASI SEBAGAI ALAT BANTU PENGGUGAH MEMORI
WAWANCARA yang hanya bersifat interaksi bilateral di antara dua pribadi tetap akan dipengaruhi struktur kekuasaan terselubung atau ‘hirarki’ di antara peneliti dan yang diteliti. Makanya, mengikuti pedagogi Paulo Freire, sebaiknya kegiatan tanya-jawab antara kedua mitra peneliti itu dimediasi oleh satu atau lebih kodifikasi, yakni representasi dari apa yang menjadi sorotan bersama. Malah, kodifikasi yang berupa gambar, musik, bunga, atau makanan yang mengeluarkan aroma tertentu, cocok dengan filsafat Merleau-Ponty, yang menekankan bahwa manusia lebih dulu belajar dengan pancaindranya, sebelum belajar dengan otaknya. Semboyan Descartes “aku berfikir, maka aku ada” (cogito ergo sum), digantinya menjadi, “aku mengecap, maka aku ada” .
Wawancara mendalam sebaiknya dilakukan sambil berjalan-jalan di kebun, diselingi pertanyaan tentang bunga, tanaman obat, atau pohon buah yang tumbuh di situ, atau sesudah kembali ke rumah, diselingi pertanyaan tentang foto-foto yang dipajang di ruang tamu, diselingi singgah di dapur, serta obrolan sembari makan bersama. Proses ini jauh lebih kreatif, eksploratif, dan egaliter, ketimbang wawancara sambil duduk berhadap-hadapan, atau bahkan sementara yang diwawancara berbaring di tempat tidur karena sakit atau lelah (yang mengingatkan kita pada sofa praktek psikiater).
Ada satu hal yang harus diperhatikan dalam wawancara mendalam, yang menggunakan kodifikasi sebagai alat bantu penggugah memori. Barang-barang tertentu dapat mengundang memori yang sangat mendalam akan orang-orang yang dikasihi yang sudah meninggal, atau sedang mengembara untuk waktu yang lama. Menariknya, dari wawancara saya dengan beberapa orang narasumber yang perempuan, kodifikasi yang paling menggugah memori mereka bukannya foto orang-orang yang mereka kasihi, melainkan pakaian yang pernah dipakai sang kekasih semasa hidupnya atau pada saat ia sedang berada di rumah di tengah pengembaraan yang panjang, serta buku-buku yang pernah dibacanya atau lama berada di perpustakaan pribadinya. Baju, yang masih ada di pakaiannya, setipis apapun, lebih merupakan hal yang peka bagi perempuan ketimbang laki-laki.
Barang-barang lain, buatan orang yang dikasihi, atau dibeli dalam perjalanan bersama, juga dapat mengundang memori pasangan atau anak-anak mereka. Benda-benda mati itu bisa bercerita lewat mulut mereka yang hadir dalam sejarah masuknya benda-benda itu ke dalam lingkaran anak-anak manusia itu.
Jadi, pewawancara yang berempati dengan mitranya, harus berhati-hati sekali dan cepat menunjukkan empatinya, apabila mitranya meletus dalam luapan emosi kesedihan apabila barang-barang itu dipertanyakan cerita asal usulnya. Namun dari sudut penelitian untuk mengungkapkan isi hati mitra yang sesungguhnya, luapan emosi itu dapat menjadi pembuka jalan untuk berceritera tentang kejadian-kejadian traumatis yang kaya makna dari sudut kemanusiaan.
0 komentar:
Posting Komentar