Menurut sejumlah catatan, pura selesai dibangun dilakukan upacara pada hari Sabtu Kliwon, Kuningan sampai Wuku Merakih, Sasih Kelima, Isaka warsa 1330 tahun 1408 Masehi. Jika merana (hama) menyerang kawasan pertanian di Tabanan, subak biasanya menggelar serangkaian upacara di Pura ini guna memohon agar pertanian mampu diselamatkan. Air (tirta) dari pura ini diyakini mampu menanggulangi keberadaan hama dan penyakit petani. Keberadaan pura ini berhungan dengan keris Ki Baru Gajah yang kini di-stana-kan di Puri Kediri, Tabanan. Keris ini merupakan pemberian Dahyang Dwijendra kepada Ki Bendesa Braban yang tiba di Bali pada tahun Isaka 1411. Berdasarkan Lontar Kundalini Tatwa, pada saat kedatangan Danyang Dwijendra ke pulau kecil Let (Tanah Lot) para nelayan berdatangan menghadap. Keesokannya di Pura Pekendungan, Ki Bendesa Braban menghadap sang pendeta di pura tersebut. Saat itu, Ki Bendesa menceritakan bahwa desa pakramannya diganggu oleh Ki Bhuta Babahung sehingga banyak penduduk yang menjadi korban. Selanjutnya, Ki Bendesa memohon kepada Pedanda Sakti Wawu Rawuh agar membantu menghadapi kesulitan yang dialaminya. Mendengar permohonan itu, sang Pendeta memberikan keris yang bernama Ki Baru Gajah miliknya untuk mengalahkan Ki Bhuta Babahung. Selain itu, Danghyang Dwijendra menitahkan agar keris tersebut diaturkan sesaji di pura tersebut, sebab dapat pula dipakai sebagai penolak hama segala tanaman petani.
Hingga kini, setiap piodalan atau jika ada upacara tertentu, keris Ki Baru Gajah akan di-pendak di Puri Kediri untuk selanjutnya akan dibawa ke Pura Luhur Pekendungan. Selain sebagai tempat memohon kelangsungan pertanian bagi krama subak, pura ini juga diyakini sebagai media memohon kemakmuran, kesejehteraan dan kerahayuan jagat. Saat piodalan selain warga Tabanan, sejumlah umat juga berdatangan untuk melakukan persembahyangan.
0 komentar:
Posting Komentar