jatiluwih

jatiluwih

Kamis, 28 Juli 2011

Konsep Dewa Raja di Bali


Konsep Dewa Raja merupakan sebuah konsep yang menyamakan kedudukan raja dengan dewa-dewa. Konsep Dewa Raja ini berkembang pada masa kejayaan agama Hindu di Indonesia (terutama di Pulau Jawa). Dalam konsep Dewa Raja, raja merupakan perwujudan Dewa-dewa yang turun kedunia. Sebagai contoh Raja Airlangga dari Jawa menganggap dirinya penitisan Wisnu. Monumen peringatannya memperlihatkan ia sebagai Wisnu yang mengendarai Garuda, Selain penitisan yang di atas dikenal pula penitisan berganda. Hal ini terjadi pada Kerajaan Singosari awal. Ken Arok selaku pendiri dinasti dimitoskan sebagai inkarnasi dari Wisnu. Tetapi juga merupakan peranakan dari Brahma dengan seorang wanita fana, dan juga anak dari Syiwa. Sedangkan Raja Kertarajasa pendiri Kerajaan Majapahit di Jawa diabadikan dalam patung yang memperlihatkan Ia sebagai Halihara, yang merupakan perpaduan Wisnu dan Syiwa (cepu weblog.com).
Heine-Geldern, dalam Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara menggambarkan tentang bagaimana seorang Raja menempatkan dirinya setara dengan kedudukan para Dewa penguasa jagat atau penguasa sorga, yang berkedudukan di Gunung Meru sebagai penguasa jagat (cepu weblog.com)..
Perwujudan dari penyelarasan hubungan antara Raja, Dewa dan Alam Semesta diwujudkan dalam sebuah konsep Makrokosmos (Bhuwana Agung) dan Mikrokosmos (Bhuwana Alit). Berdasarkan kepercayaan itu dapat diartikan bahwa manusia dan energi –energi yang ada di bumi dipengaruhi oleh arah mata angin, bintang – bintang dan planet – planet. Kedudukan tersebut mengakibatkan energi – energi yang dapat menentukan dan menghasilkan kesejahteraan dan kemakmuran suatu walayah kerajaan. Hubungan antara kedua hal tersebut juga menentukan kekuasaan seorang penguasa di suatu wilayah. Keselarasan antara kedua hal itu digunakan untuk menyusun keselarasan antara jagad raya dan kerajaan, penyelarasan itu berupa penataan kerajaan sebagai gambaran kecil dari jagad raya. Konsep penyelarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos di wujudkan dalam hubungan antara Negara dan Jagad Raya.
Menurut doktrin – doktrin Brahma, jagad raya ini terdiri dari jambudvipa, sebuah benua lingkaran dan terletak di pusat dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbetuk cincin dan tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga. Di luar samudra terakhir dari ketujuh samudra tadi, jagad itu ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah – tengah Jambudvipa Meru, Gunung kosmik yang diedari oleh Matahari, Bulan dan Bintang – Bintang. Di puncak nya terletak kota dewa – dewa yang dikelilingi pula oleh tempat tinggal dari lokapala atau dewa – dewa penjaga jagad (cepu weblog.com)..
Konsep hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos, yang menurut Heine Geldren terjadi pada hampir seluruh kerajaan di daerah Asia Tenggara, juga terdapat di Bali. Dimana Bali mendapatkan pengaruhnya dari Jawa karena selama beratus-ratus tahun Bali merupakan daerah jajahan Jawa baik secara wilayah maupun secara budaya, walaupun dalam beberapa hal terjadi pengkhususan di Bali. Konsep hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos ini dianalogikan dengan konsepsi Dewa Raja. Dimana Dewa yang merupakan bagian dari makrokosmos (Bhuwana Agung) dan Cokorda merupakan bagian dari mikrokosmos (Bhuwana Alit). Dimana Raja, merupakan bagian perwujudan dari dewa yang turun ke dunia.
Konsepsi Dewa Raja di Bali mengacu pada Dewa Syiwa. Hal ini dikarenakan agama Hindu yang berkembang di Bali merupakan Syiwa Buddha, dimana Syiwa Buddha di Bali merupakan gabungan dari 8 aliran sekte yang ada di Bali, yaitu Buddha Mahayana, Siwa, Indra, Bayu, Khala, Brahma, Wisnu dan Syambhu, yang kemudian disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi sebuah paham baru yakni paham Tri Murti atau Tri Tunggal. yang memuja Brahma, Wisnu dan Iswara yang menjadi inti keagamaan di Bali dan layak dianggap sebagai prabhawa (manifestasi) dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Soebandi, 1983:70-71).
Ciri khas dari agama ini adalah mengkultuskan Bhatara Syiwa sebagai dewa utama. Sehingga muncullah istilah Siwa Nata Raja atau Siwa Rajanya Raja. Ketika konsepsi Siwa Nata Raja ini dipertemukan dengan konsep Tri Murti, maka akan timbul:
1.            Ketika Bhatara Syiwa berfungsi sebagai pencipta maka dia akan berwujud Bhatara Brahma.
2.            Ketika Bhatara Syiwa berfungsi sebagai pemelihara, maka dia akan berwujud Bhatara Wisnu.
3.            Ketika Bhatara Syiwa berfungsi sebagai pemralina/pelebur, maka dia akan berwujud Bhatara Iswara.
Konsepsi Siwa Nata Raja ini, juga terdapat dalam konsepsi Dewa Raja di Bali, dimana Raja dianggap sebagai manifestasi Bhatara Syiwa. Ketika seorang raja bertindak sebagai seorang pencipta maka dia akan menjadi manifestasi Bhatara Brahma. Ketika seorang raja menjadi seorang pemelihara, maka dia akan menjadi manifestasi Bhatara Wisnu, dan ketika Raja menjadi seorang pelebur atau pemralina, jadilah dia sebagai manifestasi Bhatara Iswara.
Peranan Cokorda dalam upacara nangluk merana merupakan simbol kedewaan seorang Cokorda di dunia ini. Dalam upacara nangluk merana, Cokorda berperan sebagai manifestasi Bhatara Wisnu, yang turun kedunia untuk memelihara, dimana dalam kaitan dengan fungsi Tri Murti dalam upacara nangluk merana, Bhatara Wisnu bertugas untuk merawat tanaman padi agar tumbuh subur sehigga menghasilkan hasil yang maksimal dan juga untuk memelihara merana (tikus) agar tidak merusak sawah krama subak.
Simbolisasi Cokorda dalam upacara nangluk merana merupakan perwujudan dari konsepsi Dewa Raja di Bali, khususnya dalam upacara nangluk merana dimana simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan mempergunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhisan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. manusia dapat memberi makna pada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi (Saefudin, 2005:289).

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More